Aksi Tolak BBM yang Dilakukan Mahasiswa Murni untuk Rakyat

Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak kenaikan BBM adalah murni untuk kepentingan masyarakat. Tidak ada satu pihak pun yang menunggangi aksi mahasiswa yang sudah berlangsung hampir sepekan ini.

Pernyataan tersebut disampaikan pendiri PAN Amien Rais seusai pembukaan Rakernas III PAN di Hotel JW Marriot, Jalan Embong Malang, Surabaya, Kamis (29/5/2008).

Kalaupun ada yang menunggangi aksi tersebut kata pria asal Yogyakarta ini, tidak akan sebesar saat ini. Pasalnya kata Amien keuangan dari pihak ketiga tersebut tidak akan mampu, dan orang yang direkrut pun terbatas.

"Kalau ditunggangi aksi-aksi mahasiswa penolakan kenaikan BBM hanya akan berlangsung selama satu dua hari saja. Aksi ini jauh dilakukan mahasiswa sebelum kenaikan BBM diumumkan oleh pemerintah," kata Amien Rais.

Untuk itu ujar tokoh reformasi ini, pemerintah harus mengkaji ulang kenaikan harga BBM. Dan jika pun pemerintah mengkaji ulang kenaikan harga bahan bakar minyak, itu tidak akan membuat pemerintah bangkrut.

Jadi kalau kebijakan kenaikan harga BBM terus-menerus didemo, pemerintah harus mengkaji ulang. Karena tidak akan ada kiamat di Indonesia kalau dilakukan moratorium kenaikan harga BBM," tandasnya

Baca Selanjutnya..

Amien Rais: Tugas Selasai, SBY-JK Jangan Mencalonkan Lagi

Deklarator PAN Amien Rais kembali mengeluarkan pernyataan pedas terkait SBY-JK. Tokoh reformasi ini meminta kepada SBY-JK agar tidak mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2009 mendatang. Pasalnya tugas dan misi keduanya sudah selesai.

"Tanpa mengurangi rasa hormat pada SBY-JK, anda sudah selesai misinya. Anda sudah tua dan sulit untuk berubah," kata Amien Rais di sela-sela bedah buku miliknya yang berjudul "Selamatkan Indonesia" di Hotel JW Marriot, Jalan Embong Malang, Surabaya, Kamis (29/5/2008).

Menurut Amien, mencari seorang pemimpin memang tidak gampang. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mencari seorang pemimpin yang cocok. Venezuela saja kata Amien butuh waktu dua abad untuk mendapatkan seorang Hugo Chavez. Dan Indonesia kata pria asal Jogyakarta ini Indonesia memerlukan pemimpin nasional yang cocok.

"Kita belum memiliki pemimpin yang cocok. Kadang untuk mencari pemimpin kita perlu waktu puluhan tahun," ujarnya.

Amien Rais mengungkapkan, kader harus di-overhaul atau turun mesin. Meski tanpa diturunkan ujar Amien, harus sudah turun sendiri. "Yang ada sekarang ini tidak usah diserang. Sudah low sendiri, kita amankan sampai 2009," ungkapnya.

Walau begitu kata mantan Ketua MPR RI ini keduanya (SBY-JK) tidak bisa berhenti bekerja keras membangun bangsa ini. keduanya harus tetap melanjutkan sampai masa jabatan keduanya habis.

"Tolonglah kerja keras lagi jangan sampai BBM naik," tandasnya.

Amin menambahkan, pemimpin Indonesia kedepan adalah pemimpin yang punya keberanian dan bukan pemimpin yang peragu. Seorang pemimpin yang berani melakukan negosiasi ulang kontrak migas dan non migas.

"Pemimpin nasional tidak boleh pengecut. Hidup itu sekali, kenapa harus takut dan peragu," pungkasnya

Baca Selanjutnya..

Ibu Kita Ternyata Telah Membohongi Kita.

Cerita bermula ketika seorang anak yg kecil yang kita sebut saja budi(menjadi tokoh AKU), aku terlahir sebagai seorang
anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan
saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi
nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
"Makanlah nak, aku tidak lapar" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan
waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu
berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan
bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan
yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu,
ibu duduk disamping ku dan memakan sisa daging ikan yang masih
menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku
makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan
cepat menolaknya, ia berkata : "Makanlah nak, aku tidak suka makan
ikan" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan
kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api
untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang
untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun
dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan
dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku
berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus
kerja." Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak
capek" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku
pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari,
ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama
beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah
disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental
tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.
Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk
ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :"Minumlah nak, aku tidak
haus!" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap
sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu,
dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita
pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati
yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar
maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat
kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan
nasehat mereka, ibu berkata : "Saya tidak butuh cinta"
----------KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan
bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak
mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit
sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang
bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu
memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang
tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : "Saya
punya duit" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian
memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika
berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja
di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik
hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku "Aku
tidak terbiasa" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker
lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di
seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk
ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya
setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku
dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya
terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas
betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat
lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air
mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti
ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : "Jangan menangis anakku,Aku
tidak kesakitan" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta
menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa
tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : " Terima kasih ibu ! "
Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan
waktu kita
untuk berbincang dengan ortu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita
yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk
meninggalkan ortu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ortu yang
ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan
pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas
apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di
samping kita.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita?
Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita
sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita
renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu
kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" di
kemudian hari.

Baca Selanjutnya..

10 Tahun Reformasi "Indonesia Negara yang Gagal"

“Indonesia negara gagal, karena tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya. Negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya. Tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata”.

Arbi Sanit
Dalam peringatan 99 Tahun Bung Syahrir dan 60 Tahun Partai Sosialis Indonesia sebagaimana dilansir Harian Kompas Senin 31 Maret 2008.

Ungkapan Arbi Sanit yang mengawali tulisan ini bisa jadi mewakili sebagian besar perasaan masyarakat Indonesia yang pesimistis terhadap perubahan signifikan yang berlangsung di negeri ini. Dalam beberapa pekan yang lalu, kami mencoba melihat kasus Timor Leste yang kami kutif menurut beberapa ahli, jika dalam beberapa tahun kemudian tidak ada perubahan signifikan Timor Leste menjadi contoh salahsatu negara gagal. Kami geli dan gelisah ternyata bentuk “Negara gagal” malah sudah hadir di depan mata sendiri, dan itu adalah Negara di mana bumi kami pijak. Dalam kesempatan ini kami mencoba mengkaji Indonesia dalam perspektif Negara gagal sekaligus menyambut 10 tahun reformasi. Insya Allah dalam menyambut 10 tahun Reformasi, tulisan ini pun akan dilanjutkan dalam bentuk perspektif yang berbeda.

Arbi Sanit melihat bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas beragamnya keterpurukan dan ketidakteraturan dalam system Negara saat ini. Pasalnya parpol yang memegang hak monopoli untuk berkuasa, parpol juga yang membuat aturan bagaimana kekuasaan itu di bentuk dan dijalankan. Keadaan ini adalah bukti kondisi parpol yang lebih buruk dari kondisi Negara. Parpol tidak bisa melahirkan kekuasaan yang baik dan berpihak kepada rakyat. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakmampuan parpol melahirkan kader yang berkualitas, punya integritas dan moral, serta punya visi kebangsaan.

Dalam Tulisan Agus Hariyadi dengan judul ”Revolusi (tak) Berhenti di Hari Minggu”. Agus mengutif ucapan Affan Gaffar yang lebih ”menakutkan” lagi bahwa ”tak ada harapan di bidang ekonomi, tak ada harapan di bidang politik dan hukum, kita sudah tak punya harapan!”. Yang kemudian ditafsirkan dalam tulisan Ray Rangkuti bahwa kerusakan yang ada telah terlanjur kronis dan menguburkan harapan banyak orang akan adanya pemulihan. Pembususkan sudah sampai pada tingkat yang tak mungkin disembuhkan.

Apa yang terjadi dengan reformasi kita? Mengapa hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini masih mencemaskan? Dan kenapa kita hingga tahun yang kesepuluh ini masih berkutat dalam proses transisi menuju demokrasi?. Sepuluh tahun reformasi, Indonesia memang tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, baik dari segi politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Dan ini terbukti dengan belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat, dan ini terbukti bahwa rakyat hanya selalu menjadi objek kepentingan politik belaka. Dan ini terbukti pemberdayaan rakyat hingga saat ini hanya menjadi slogan elite-elite belaka.

Negara Gagal?

Keadaan Indonesia terus bertambah buruk, harga bahan pokok, harga kedelai, harga minyak dan gas, berada di atas daya beli, selain itu ditambah dengan pengangguran yang terus meningkat. Sosiolog Musni Umar berpendapat bahwa ketidakberhasilan ini disebabkan pemerintah meneruskan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme dengan mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan konsensus Washington. Konsensus ini mengakibatkan kerugian bagi Rakyat Indonesia, karena ketidaksiapan Indonesia menghadapai kebebasan.

Dari segi politik, Indro Tjahjono mantan Ketua Nasional Gerakan Mahasiswa berpendapat, bahwa kesalahan pemerintah terletak pada belum berubahnya sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, yang berlaku adalah demokrasi kapitalisme seperti yang berlaku pada rezim Orde Baru. Demokrasi kapital merupakan demokrasi yang tunduk kepada modal atau mereka yang memiliki uang. Selama keadaan ini terus berlangsung maka demokrasi nilai yang seharusnya bersuara dan bersumber pada rakyat tidak akan tercapai.

Dari ungkapan-ungkapan di atas apakah membuktikan bahwa Indonesia adalah bentuk contoh dari negara gagal?! Apakah ini contoh ”gagalnya negara”. Tak kurang dari dua pengamat globalisasi, Dr. B. Herry Prijono dan Dr. Dedy N. Hidayat yang dikutif Rahman, mengingatkan agar hati-hati mendiskusikan ihwal negara gagal atau gagal negara. Jangan-jangan Indonesia benar-benar jadi contoh negara yang gagal. Ramalan dan kekhawatiran jadi kenyataaan atau self fulfilling propechy.

Pertanyaan yang dilontarkan dari kekhawatiran ini adalah, apakah negara gagal itu? Apakah negara itu yang dimaksudnya adalah pemerintah?, atau juga institusi negara yang lain seperti lembaga perwakilan?. Dan apa yang dimaksud dengan ”gagal”, apakah negara ini penuh dengan kekacauan sipil? Pembakaran di mana-mana?, proses penegakkan hukum mandul, dan masyarakat tidak punya aturan lagi?

Opini Meuthia dalam opininya berjudul ”Negara Gagal” (Kompas, 3/4./2008) mengajak kita untuk melihat studi yang dilakukan World Economic Forum dari Universitas Harvard pada tahun 2002 yang merumuskan tentang negara gagal, ciri-cirinya dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara di mana Indonesia menjadi salahsatu sample mereka. Dan diharapkan studi ini menjadi cermin apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi ini karakteristi negara gagal, antara lain adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal terbentuk pada awalnya karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefeisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.

Kemunduran ekonomi biasanya sejalan dengan lemahnya institusi penegakkan hukum. Karena adanya kemunduran ekonomi, akan semakin sulit menegakkan institusi-institusi negara menjadi lebih bersih. Dan kendala penegakkan demokrasi juga menjadi hambatan kalau rakyat lebih suka memikirkan ”perut” daripada kehidupan bermasyarakat.

Dalam bukunya Jared Diamond yang berjudul Collapse (2005) dicantumkan peta Indonesia sebagai negara yang sekaligus berbeda dalam environmental trouble spots of the modern world atau political trouble spots of the modern world. Indonesia menurut Diamond adalah negara yang pernah dan sedang mengalami rentetan masalah politik yang memenuhi syarat sebagai pertanda yang baik bagi negara gagal (state failure). Selain itu tekanan penduduk yang mencapai 3 persen tiap tahun mempercepat laju deforistasi (penggundulan hutan), meningkatnya limbah kimia beracun (polusi, rumah kaca, dan pertambangan), krisis energi, kekeringan, kelaparan, dan berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Mengutip buku Collapse ini bahwa betapa penebangan hutan ilegal dan ketidakmampuan menjaga lingkungan udara, laut, darat merupakan hal-hal serius yang harus diperhatikan Indonesia. Mental korupsi yang merajalela dan parah di semua tingkatan rakyat, besarnya beban hutang negara, dikuasainya aset-aset ekonomi oleh segelintir orang dan mantan kroni Orba, diabaikannya konflik kepentingan dalam lembaga-lembaga negara, dan rapuhnya perbankan Nasional, sebagaimana yang dimisalkan oleh Meuthia yaitu cara-cara premanisme yang bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Jika tidak diperbaiki, tidak mustahil kita akan menyusul Somalia, Sudan, Rwanda, atau Haiti yaitu menjadi Indonesia yang kolaps.

Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti juga menyatakan keprihatinannya, pemerintahan yang sepertinya kuat ini, tidak terasa seolah-olah kita tidak memiliki pemerintahan, jika tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state, atau negara yang bangkrut dan gagal. Apa jadinya….

Hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini memang mencemaskan. Transisi sejak tahun 1998 telah berjalan tanpa skenerio yang kuat dan tanpa arahan seorang sutradara yang jelas dan dihormati. Ibarat pentas, pemain hanya dibekali aturan main seadanya, dan itu pun aturan yang usang, tambal-sulam, tumpang tindih, dan pemain dibebaskan berimprovisasi. Terjadi benturan, bukan hanya di antara para pemain, penonton pun yang harusnya menikmati malah ikut.

Corak transisi di Indonesia sangat berbeda. Jatuhnya Soeharto tidak diduga dan tidak dipersiapkan sejak jauh hari. Bahkan para pengamat asing yang kompeten tidak menduga Soeharto dapat jatuh secepat itu. Penulis ketika masih berstatus mahasiswa dan ikut dalam demontrasi di Gedung DPR hampir tidak percaya, ketika melakukan sujud syukur, hati penulis pun masih mempertanyakan kebenarannya. Ketika kekuasaan berganti, semua menjadi terkesima. Sistem lama sudah hilang legitimasinya. Sementara skenerio baru untuk politik dan ekonomi tidak tersedia. Aneka improvisasi, uji coba dan trial and error dilakukan hingga kini.

Tidak adanya sutradara yang dihormati dan mau menjadi sutradara yang baik menjadi ”guru bangsa”. Sebaliknya presiden bahkan terlalu mudah dijatuhkan. Habibie naik lalu pertanggungjawabannya ditolak. Gus Dur naik lalu dijatuhkan, Megawati naik kemudian tidak lagi kembali terpilih. SBY naik, pemerintahannya tidak terlepas gonjang-ganjing tarikan partai politik. Tidak ada partai politik yang mendominasi parlemen atau Kongres, partai pemerintah (Partai Demokrat) malah mempunyai kedudukan yang lemah di parlemen.

Dalam catatan akhirnya, Meuthia menilai kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Apakah Indonesia Negara Gagal…….Tergantung anda melihat dan menilainya..

*Diambil dari berbagai sumber

Baca Selanjutnya..

Mengenang 10 Tahun Reformasi

Tidak terasa sudah 10 tahun kita berada dalam era reformasi, tidak ada satu perubahan mencolok yang terjadi. Tahun 1998 merupakan awal dari masa reformasi. Dilatarbelakangi oleh aksi mahasiswa yang menuntut reformasi ekonomi, politik, dan semua aspek kehidupan berbangsa bernegara.

Latar belakang

Awal tahun 1998, perekonomian Indonesia mulai goyah. Hal ini disebabkan krisis moneter, harga kebutuhan banyak yang melambung naik, daya beli masyarakat berkurang. Banyak mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR menuntut mundurnya soeharto sebagai presiden saat itu. Aksi dengan agenda reformasi tersebut mendapat dukungan dan simpati dari rakyat Indonesia.

Gedung DPR/MPR dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Indonesia. Semua elemen mahasiswa yang berbeda faham dan aliran bersatu dalam satu tujuan menurunkan soeharto. Aksi menduduki gedung DPR/MPR ini dipelopori oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dan Forum Kota.

Akhirnya, tujuan mahasiswa tercapai, soeharto mengundurkan diri pada tanggal 12 mei 1998. Namun, perjuangan tersebut dibayar mahal dengan tragedi Trisakti dan tragedi semanggi yang menewaskan banyak mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat bersenjata. Para mahasiswa yang gugur dan dianugerahi pahlawan reformasi antara lain:

  • Muhammad Yusuf Rizal
    Mahasiswa FISIP angkatan 1997 Universitas Lampung, Lampung. Gugur tertembak di depan markas Koramil Kedaton, Lampung, pada tanggal 28 September 1999 saat melakukan unjuk rasa menentang penerapan UU PKB.
  • Yun Hap
    Mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta. Gugur dalam peritiwa Tragedi Semanggi II pada tanggal 23 September 1999.
  • Bernardus R Norma Irmawan
    Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta.
    Gugur dalam peristiwa Tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998.
  • Engkus Kusnadi
    Mahasiswa Universitas Jakarta
    Gugur setelah Tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998.
  • Heru Sudibyo
    Mahasiswa penyesuaian semester VII Universitas Terbuka, Jakarta
    Gugur setelah Tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998.
  • Lukman Firdaus
    Pelajar Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 3 Ciledug, Tangerang
    Gugur setelah memperkuat barisan mahasiswa proreformasi di Jakarta, pada hari Kamis tanggal 12 November 1998 ia terluka berat dan meninggal dunia beberapa hari kemudian.
  • Sigit Prasetyo
    Mahasiswa Teknik Sipil YAI Jakarta
    Gugur dalam peristiwa Tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998.
  • Teddy Wardani Kusuma
    Mahasiswa Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi Indonesia, Serpong.
    Gugur dalam Tragedi Semanggi pada tanggal 13 November 1998.
  • Elang Mulya
    Mahasiswa Trisakti, Jakarta
    Gugur dalam Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
  • Hafidin Royan
    Mahasiswa Trisakti, Jakarta
    Gugur dalam Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
  • Hendriawan Sie
    Mahasiswa Trisakti, Jakarta
    Gugur dalam Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
  • Hery Hartanto
    Mahasiswa Trisakti, Jakarta
    Gugur dalam Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
  • Moses Gatotkaca
    Masyarakat kelahiran Banjarmasin yang bekerja di Yogyakarta ini menjadi korban kekerasan pada saat terjadi kerusuhan di Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998

www.semanggipeduli.com

berikut adalah salah satu kutipan dari ungkapan mahasiswa pada saat itu:

Sumpah Mahasiswa !!!
Kami…Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Bertanah air satu..Tanah air TANPA PENINDASAN !!!

Kami…Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Berbangsa satu…Bangsa yang GANDRUNG akan KEADILAN !!!

Kami…Mahasiswa Mahasiswi Indonesia Bersumpah!!
Berbahasa satu..BAHASA KEBENARAN !!!

Setelah soeharto mundur, presiden dipegang BJ Habibie, di masa pemerintahannya Timor timur lepas dari NKRI pada Oktober 1999 melalui referendum. Dan itulah yang menyebabkan BJ Habibie menjadi catatan kelam Bangsa Indonesia.

Selanjutnya tahun 1999 diadakan pemilu, jabatan presiden berpindah tangan dari BJ Habibie kepada Gus Dur, dan sebagai wapres adalah megawati. Di masa pemerintahannya banyak terjadi peristiwa sparatis di Aceh, maluku, dan papua. Disamping itu banyak kebijakan yang ditentang oleh MPR/DPR. Dan banyak yang menilai mencla-mencle. Akibatnya, mahasiswa berdemo menuntut pengunduran diri Gus Dur. Pada tanggal 29 JaAnuari 2001 Gus Dur mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Megawati.

Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Di masa pemerintahannya tidak ada perubahan yang berarti kecuali nilai tukar rupiah yang lebih stabil. Pada awal pemerintahannya, kepopuleran megawati sangat tinggi, namun seiring waktu kepopulerannya turun. Banyak yang menilai Megawati dingin terhadap rakyat alias jarang berkomunikasi langsung dengan rakyat.

Akhirnya, pemilu 2004 berlangsung. Presiden dipilih langsung oleh rakyatnya. Dan yang terpilih pada saat itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla. Di masa pemerintahannya banyak ujian berat mengujinya. Diantaranya Tsunami Aceh danPangandaran yang menjadi sorotan perhatian Internasional. Di masa pemerintahannya, berkali-kali harga BBM menjadi naik, harga sembako menjadi naik, BBM menjadi langka, pengangguran semakin banyak. Dan yang baru-baru ini adalah adanya kebijakan yang diterapkan dalam waktu dekat yakni kenaikan harga BBM, hal ini dilakukan dalam rangka menyelamatkan anggaran BBM, namun akibatnya malah menyengsarakan rakyat.

Sekarang aja banyak rakyat kecil yang tidak mampu membeli keperluan dapurnya. Hal ini disebabkan semakin mahal dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, baik minyak tanah maupun sembako. Ddan itulah yang menyebabkan banyaknya rakyat yang mengalami kelaparan dan gizi buruk. Dan diperkirakan jika kenaikan BBM diterapkan lagi akan menyebabkan 1 juta lebih pengangguran akan bertambah. Itulah perkembangan Indonesia setelah 10 tahun reformasi. Silahkan bagi para pembaca apabila ada yang menambahkan, perubahan apa saja yang sudah terjadi pada negeri ini? tambah baik atau tambah buruk?

Dari: berbagai sumber

Baca Selanjutnya..

Ketika Politik Semata Bermuara pada Kekuasaan

Di tengah centang-perenang suasana politik Indonesia, Presiden Megawati
menyerukan tantangan: tunggu pemilu 2004. Berbagai tanggapan bermunculan
atas tantangan ini. Ada yang mengatakan wajar, ada yang mengatakan
emosional, ada pula yang mengatakan terlalu percaya diri tapi kurang
realistis. Namun yang tidak boleh diabaikan adalah tanggapan yang menggugat
bahwa tantangan tersebut sebenarnya menunjukkan kuatnya orientasi politik
akan kekuasaan.
Memang bisa disimpulkan demikian, bahwa semua pertentangan, debat, kritik
bahkan gugatan akan ketepatan pilihan kebijakan, akhirnya bermuara pada soal
perebutan kekuasaan. Nuansa tersebut tidak saja terlihat dalam isi tantangan
presiden tersebut, tetapi juga dalam wacana sekitar presidium maupun dalam
salah satu issu kuat demonstrasi: turunkan Mega-Hamzah.
Maka bisa dimengerti kalau kemudian ada yang gelisah: bangsa ini tidak
sungguh belajar bagaimana berdemokrasi, masih saja suka membuat petualangan
politik, menurunkan yang tidak disukai dan mengangkat yang lain, padahal
hasilnya sama saja. Kita tidak berangkat dari konsep utuh dan menyeluruh
bagaimana negara ini mau dibangun. Namun sekedar melakukan ”hobby”
menggoyang-goyang pohon pinang untuk berebut hadiah, demikian sering
diumpamakan.

Penyelewengan Makna
Politik pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun tatanan kehidupan bersama
secara lebih modern. Maka hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, atau
siapa yang nekat dia yang berjaya, tidak bisa diberlakukan lagi. Terlebih
tatanan tersebut diarahkan agar mereka yang dalam posisi lemah dan kalah
tidak semakin tersingkir dan dimarginalisasi.
Namun kenyataan berbicara lain. Politik sebagai suatu tatanan sosial memberi
tempat bagi kenyamanan, bahkan juga keuntungan, bagi mereka yang berada
dalam posisi menentukan. Maka kemudian aspek pelayanan bergeser pada arus
aspek pemanfaatan kuasa demi keuntungan.
Kasus Perang Irak II bisa dipakai sebagai contoh. AS, bersama sekutu
kentalnya Inggris, tetap saja berambisi menyerang, karena sudah mengincar
keuntungan bisnis minyak paska-perang. Maka tuduhan akan adanya
oil-connection pada diri mereka yang berada di balik dinding kekuasaan
Gedung Putih sangat kuat. Argumen logis tidak lagi diperlukan, sehingga
bantahan tim pemeriksa senjata PBB akan tuduhan bahwa Irak memiliki potensi
senjata nuklir menghancurkan tidak masuk di akal. Yang masuk akal baginya
hanyalah keuntungan, dan dianggap keuntungan yang akan datang itu akan
membuai rakyat Amerika untuk terus mendukung mereka.
Kelangsungan kekuasaan tidak didasarkan pada sejauhmana tata kehidupan
bersama berlangsung baik, dengan memberi penghargaan serta jaminan akan
kelompok lemah. Kapital yang lalu menjadi tolok ukur. Memang pertumbuhan
ekonomi menjadi tolok ukur vital bagi suatu penilaian keberhasilan kekuasaan
politik. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan keadilan akan
meletuskan bom waktu yang bisa meluluhlantakkan fundamen stabilitas yang
dibangun.
Kekerasan dan apa yang sering disebut barat sebagai terorisme, pun dalam
banyak hal merupakan bentuk yang lahir dari situasi ketidakadilan. Apalagi
kalau ketidakadilan tersebut tidak saja berwujud ketidakadilan ekonomi,
sosial dan politik, tetapi juga ketidakadilan agama. Arogansi barat memang
tak jarang memandang rendah dan salah kultur dan religiusitas yang bukan
Barat.
Apa yang terjadi di Indonesia, demonstrasi, reaksi tajam akan sosok
pemerintahan harus diakui merupakan pula letupan yang timbul akibat
ketidakadilan. Kekuasaan politik ternyata tidak begitu berpihak pada yang
lemah. Malahan beban mereka semakin berat dan menekan. Penguasa pun dirasa
semakin jauh dari realitas kehidupan wong cilik, yang dikatakan ingin
dibelanya. Bahkan korupsi yang katanya ingin dibasmi malahan secara kasat
mata semakin merebak ke mana-mana.
Politik telah terselewengkan dari maknanya, karena lebih berorientasi pada
kekuasaan yang menguntungkan. Bila demikian bisa kita pertanyakan, pemilu,
ataupun upaya pendongkelan kekuasaan, bisa jadi hanyalah soal rebutan
kesempatan untuk meraup keuntungan. Bila ini yang terjadi, maka politik
hanyalah menjadi soal rebut-merebut rezeki.

Mengembalikan Makna
Saat menjelang pemilu di Jerman dan Austria berapa waktu lalu, bahkan belum
lama ini di Belanda, sering dilontarkan sejumlah persoalan atau isu mendasar
yang diharapkan menjadi perhatian. Isu tersebut antara lain soal
kesejahteraan sosial, penghargaan akan pluralitas, tempat bagi imigran dan
penghargaan akan kehidupan keluarga.
Bahkan di berbagai belahan negara Eropa, juga parlemen Uni Eropa, mucul
kesadaran akan pentingnya kembali pada dasar-dasar nilai moral. Sebagai
kawasan yang punya akar kultur Kristiani, muncul keinginan untuk belajar
kembali dari nilai-nilai Kristiani sebagai landasan tatanan sosial kehidupan
bersama.
Orientasi yang hanya mengejar keuntungan serta pertumbuhan ekonomi belaka
ternyata tidak mampu menyelesaikan berbagai soal dalam kehidupan bersama.
Malahan lilitan ketidakadilan serta ketidakseimbangan dalam hidup makin
terasa. Proses kehidupan bersama yang berjalan tanpa landasan nilai yang
kokoh juga dirasakan tidak mampu menghantarkan masyarakat pada suatu
kehidupan bersama yang kuat, jalinan relasi bersama yang padu.
Pembicaraan mengenai perlunya kembali pada landasan nilai yang kokoh semakin
sering menjadi topik diskusi politik dalam forum publik. Memang ada
pro-kontranya, terlebih ketidakinginan topik itu lalu diartikan kembalinya
agama dalam kehidupan politik.

Memang tampaknya demikian. Yang lebih dimaksudkan adalah dikukuhkannya
kembali nilai religiusitas, penghargaan akan pribadi dan kehidupan keluarga,
serta penghargaan akan kelompok sosial baru dan minoritas, termasuk juga
kelompok Islam, yang makin menjadi fenomen yang harus diakui.
Di Indonesia, kecenderungan untuk mengembalikan makna politik masih jauh
dari harapan. Yang lebih terjadi adalah rebut-merebut, jegal-menjegal, dan
tantang-menantang. Kalaupun fenomen politiknya adalah politik kekuasaan,
politik kekuasaan yang khas di Indonesia sekarang adalah politik pertarungan
kekuasaan. Memang seakan situasinya seperti orang mau bertarung:
tantang-menantang.
Agama pun lebih dimaksudkan sebagai bentuk dan kelompok, bukan berdasar pada
nilai. Kalau agama lebih dilihat sebagai kelompok, maka agama bisa terjebak
pula dalam pertarungan kekuasaan yang ada: tantang-menantang, rebut-merebut.
Akibatnya, tidak pernah bisa masuk sungguh dalam gugatan mendasar: mengapa
bangsa Indonesia yang menyebut diri beragama, korupsi dan penyelewengannya
membengkak, kekerasannya merebak, dan ancaman perpecahannya mendesak.
Oleh karena itu kiranya yang mendesak dilakukan, oleh siapa saja, entah ikut
tertantang saat pemilu nanti atau tidak, adalah segera menemukan kembali
nilai kehidupan bersama, yang mendasari kehidupan berbangsa kita ini. Kita
sebenarnya telah punya Pancasila. Dan tentu selayaknya setelah diselewengkan
pengartiannya, perlu digali kembali nilai-nilai itu, dikaji dan dipelajari
kembali.
Tanpa kembali ke nilai dasar, kehidupan politik di negara kita ini akan
tetap menjadi politik kekuasaan, bahkan politik pertarungan kekuasaan.
Akibatnya, seperti sudah kita lihat benihnya: kesengsaraan makin meluas dan
kemiskinan makin menganga, sementara itu kepedulian dari mereka yang di atas
tidak kunjung tiba, karena mereka sibuk dalam permainan politik mencari
keuntungan.
Orde Baru mengatakan ingin mengembalikan bangsa ini pada nilai sebenarnya,
namun yang terjadi malahan penyelewengan makin nyata. Reformasi mengatakan
hal serupa, namun kenyataannya penyelewengan tidak makin berhenti.
Mungkin benar, bangsa ini memang besar nyalinya saat berjanji, namun tak
punya nyali menjalankan janji, demikian pula halnya dalam janji jabatan
ataupun janji kampanye. Malahan, ikut terjebak dalam iming-iming kekuasaan.
Benar politik punya dua sisi kontradiktif: yang satu membebaskan rakyat,
yang lain menindas rakyat. Penguasa politik nyatanya lebih suka memilih sisi
yang menindas.
Dalam situasi ini orang lalu sering bermimpi membayangkan Indonesia adalah b
angsa yang besar. Bahkan karena membayangkan sebagai bangsa besar lalu
merasa punya kekuatan untuk mendesak AS dan Australia, bahkan juga IMF.
Namun kenyataannya, kita masih menjadi bangsa yang berkutat dengan dirinya
sendiri, karena masih ribut berebut ”tulang kekuasaan”. Maka kalau dikatakan
kita berada dalam transisi, proses transisi kita tidak akan pernah selesai
bila keributan tidak segera diakhiri.
Memang tidak bisa seperti presiden yang menyalahkan pers, menyalahkan yang
mengkritik dan menentangnya, bahkan kemudian melemparkan tantangan. Semua
itu tidak akan menyelesaikan soal.
Yang lebih dibutuhkan adalah keterbukaan serta kesediaan untuk berdialog.
Namun ini yang tidak dilakukan. Yang lebih ada adalah arogansi kekuasaan dan
perasaan sudah kuat karena di sedang berada di atas, dan keyakinan diri
bahwa akan menang lagi.
Kekuasaan yang terlalu yakin diri justru akan potensial menjalankan politik
kekuasaan semata, karena hanya mendengarkan dirinya sendiri. Bila ini yang
terjadi, tak ubah seperti Bush, cowboy, gembala sapi dari AS. Ataukah memang
penguasa kita lebih sekedar gembala banteng, dan bukan pengemban amanat
rakyat?

Baca Selanjutnya..

Fenomena Artis Jadi Pemimpin

Setelah Rano Karno berhasil menjadi Wakil Bupati Tangerang. Kini Dede Yusuf berpeluang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat, setelah Dede dan pasangannya, Ahmad Heryawan sementara unggul dari 2 pasangan lainnya.

Rano Karno yang terkenal sebagai Si Doel, dikenal sebagai sosok yang baik dalam film dan sinetron2nya. Hal tersebut memudahkan pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada saat mencoblos. Karena sosoknya yg terkenal, masyarakat lebih melihat pada figurnya daripada partai yang mendukungnya.

Begitu pula dengan Dede Yusuf yang merupakan salah satu aktor yang lahir dari televisi. Perannya yang menjadi manusia yang arif, penolong, baik hati, alim, atau ”Pramuka tulen” itu selama dekade 1980-an hingga 1990-an menjadi sosok yang memenuhi mimpi masyarakat Indonesia yang menderita. Tidak heran, anak laki-laki yang lahir di era itu, dinamakan Dede Yusuf dengan harapan anak itu kelak menjadi manusia seperti Dede Yusuf yang tergambar di sejumlah sinetron. Iklan Bodrex yang diperankan oleh Dede Yusuf juga menjadi kunci keunggulan, karena masyarakat sering melihat iklannya, baik di media elektronik maupun media cetak.

Kemenangan Rano Karno dan (insya Allah) Dede Yusuf, kemungkinan besar, sebagai wakil kepala daerah di Tanggerang dan Jawa Barat, menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia yang miskin sangat mempercayai televisi sebagai ruang mimpi mereka. Mereka seakan percaya, apa yang diperankan Rano Karno dan Dede Yusuf di televisi lebih menjanjikan dibandingkan peran para politisi atau mantan pejabat yang dibesarkan partai politik dan birokrasi.

Jadi, meskipun dua contoh aktor itu masih terlalu minor, tampaknya masyarakat Indonesia telah memiliki mitos baru mengenai pemimpinnya. Sama seperti pada masyarakat tradisional yang memitoskan turunnya ”Ratu Adil”.

Bila fenomena ini terus berlanjut, bisa jadi presiden Indonesia 2009-2014 bukan lagi praktisi politik yang sudah malang melintang, melainkan artis-artis yang banyak menyuarakan penderitaan rakyat seperti Iwan Fals atau Dedy Mizwar.

Baca Selanjutnya..

Curhat Kaskuser!!!

Pernah gak sobat merasakan hidup dlm kekurangan materi? Pdhl materi yang sobat dptkan, sebenarnya, sudah lebih dari cukup? Apakah itu tandanya kita sudah diperbudak oleh uang? Ketika kita bekerja keras utk mencapai taraf hidup, yg menurut kita, mapan. Kemudian? Lama2, kita akan merasa kembali hidup dlm kekurangan. Dan, kita pun kembali bekerja keras tanpa pernah menikmati dan bersyukur atas apa yg telah kta peroleh.

Gue, sama seperti sobat semua. Laki2 normal, pny keinginan utk hidup mampan. Pd tgl 23 April 2000, gue jatuh cinta ama cw, yg menurut gue, perfect.. 7 tahun gue "jalanin hidup" dgn dia. Gue rasa, selama 7 tahun, 2/3 hidup gue ama dia. Gue sayang banget ma dia. Saking sayang gue ama dia, gue berjanji akan nikahi dia dan membahagiakan dia.
Tapi, pikiran gue sangat kolot. Gue berpikir, klo dia bahagia jk gue mapan. Gue bekerja di salah satu Bank Swasta. Dia juga bekerja di salah satu Bank Pemerintah.
Selama gue bekerja, dimulai dari 15 Desember 2005, gue bekerja keras, siang-malam. Gue datang paling pagi dan pulang paling malam. Memang posisi gue hny seorang Clerk. Hasil dari kerja keras, gue berhasil naik pangkat 3x dlm 2 thn, dpt perhargaan karyawan terbaik 2007 se-Jakarta, bonus yg melimpah, dan skrg gue lg promosi utk jabatan Manager. Sebuah prestasi yg luar biasa, menurut gue.

Trnyt, hasil tsb tidak sebanding dgn kenyataan. Gue terpasa kehilangan orang yg gue sayang. Belahan jiwa gue. Gue lupa. Gue gak pernah perhatiin dia lagi. Dlm pikiran gue, dia akan mengerti. Krn semuanya yg gue lakukan, hny utk kebahagiaan dia kelak. Gue marah! Gue kesal! Dia meninggalkan gue 15 Juli 2007.
Gue masih ingat, malam itu dia menangis dan bilang, gue udah berubah. Apanya yg berubah? Bukankah ini semua utk dia? Dia bilang, dia gak butuh semua ini. Dia bilang, gue gak sayang ama dia lagi. Gue hancur! Semua yg gue lakukan terasa hampa. Penghargaan, ketenaran, rasanya sia-sia.

Hari ini,21 April 2008,2 hari menjelang hari "bahagia" buat gue ma dia. Malam ini, gue sadar. Gue gak pernah melakukan hal itu utk dia. Sbnrnya, gue melakukan semua itu utk memenuhi ego gue. Gue baru sadar, trnyt gue orang yg egois. Gue baru ingat, betapa seringnya dia menelpon dan khawatir ttg gue, sedangkan gue asyik sok sibuk dgn pekerjaan gue. Betapa seringnya dia menelpon gue utk sekedar bercerita dgn gue, tp gue malah gak angkat krn gue sibuk dgn teman2 gue. Sok sibuk, supaya gue dianggap paling hebat!
Gue memang egois! Gue baru ingat, ketika dia ketemu gue, dia lagi sakit, tp dia bilang, "Aku gpp koq sayang, klo kamu mo meeting, bsk aja kita ke dokter."
Gue masih ingat................................ GUe gak sanggup....... Gue gak pernah menyadari betapa tulusnya dia sayang ma gue!

Tak terasa saat ini air mata gue jatuh di pipi. Gue selama ini selalu mengingkari rasa sayang dia ke gue...................
Seandainya gue bisa, tp waktu takkan bisa kembali. Saat ini dia sedang mempersiapkan pernikahan dgn co yg mencintai dia sepenuh hati. Gue gak mau ganggu kehidupan dia.....

Sobat, gue cuma ingin mengajak merenung sejenak. Apakah sebenarnya tujuan kita hidup di dunia ini? Apakah mmg uang sudah mengendalikan jiwa, raga, dan pikiran kita? Apakah sukses mmg segala2nya? Pernahkah kita melihat, orang disebelah kita? Yg selalu mendampingi kita? Yg tulus sayang ama kita? Entah itu kekasih, istri, suami, orang tua,atau anak, mereka sbnrnya selalu berdo'a utk kita. Merekalah yg tela ikut memberikan kita kekuatan.
Sobat, jgn sampai mereka pergi dari kita. Sayangilah orang yg sayang kpd kita. Mungkin kita sudah lupa, kpn kita teralhir kali mengatakn kpd mereka, "aku sayang banget ma kmu". Inilah saatnya!
Sobat, katakan hal tsb kpd mereka sekarang juga. Jgn hny mengatakan saja! Tp, buatalah mereka merasakan arti dari kata2 tsb.

There's no free lunch. There's price to be paid for what we've got.
Pesan gue, "Never let her/him go away."

p.s:Syg, aq selalu panggil kmu syg selama 7 thn ini, selamat berbahagia ya. Maaf, aq ak pernah telp kmu. Aq gak mau hub kmu terganggu. Seandainya suatu saat nanti kita bertemu lagi, aq pasti akan bahagiakan kmu. Mungkin bukan di dunia ini. Atau, mungkin tidak akan pernah selamanya...
Ttg kmu, akan sll aq simpan di sini, di dalam hati aq...
Spt lagu pertama yg kita dengar dahulu,"Everyday.... I Love U..."

Baca Selanjutnya..

Manusia dan Egonya

Menurut Thomas Hobbes, seluruh umat manusia pada dasarnya bersifat egois. Tapi implikasi dari hal ini tidak sederhana. Bila semua orang egois, maka sebenarnya akan terjadi perjuangan hidup yang luar biasa. Setiap individu melawan individu lain. Setiap orang berupaya mendapatkan apa pun yang diinginkannya dengan cara apa pun. Homo homini lupus menemui arti dalam konteks seharfiah-harfiahnya.

Oleh karena itu, kita bisa memilih menjadi orang egois dengan dua cara (Rowlands, 2004:148): cara bodoh atau rasional. Semua orang egois ingin mendapatkan keinginannya, tapi yang rasional menyadari bahwa lebih mudah mendapatkannya bila ia bekerjasama dengan orang lain. Kebutuhan dasar manusia seperti diuraikan dalam piramida kebutuhan Abraham Maslow bisa didapatkan bila kerjasama dilakukan. Artinya, masing-masing pihak membatasi tingkat ego mereka, yang sama saja dengan membatasi kebebasan diri mereka. Anda mungkin terkejut, ternyata manusia bisa sebegitu buruknya. Betul, coba saja nonton film-film perangnya Steven Spielberg macam The Thin Red Line atau kisah nyata seperti Hotel Rwanda, Anda bisa lihat bagaimana manusia memangsa manusia lain tanpa hati. Jadi, omong kosong saja sebenarnya semua hal yang dikatakan para motivator tentang kemampuan manusia mengendalikan pikirannya seperti diungkapkan buku The Secret.

Sebenarnya rahasia terbesar manusia –apalagi alam- bukanlah law of attraction, tapi semua hal di alam tergantung satu sama lain. Kalau sekarang, hal itu dikenal sebagai the butterfly effect. Kepakan kupu-kupu bersayap hitam di Jakarta yang terpolusi akan mempengaruhi ekosistem di hutan Amazon yang jauhnya ribuan mil. Mungkin saja kita mencoba mengendalikan pikiran kita, tapi bagaimana dengan pikiran orang lain? Lebih jauh lagi, cogito ergo sum-nya Descartes yang inner view itu sudah lama dikritisi. Tidak mungkin kita tahu kita eksis cuma dari kita berpikir. Pendeknya, kalau kita lagi ‘males mikir’ seperti kerap diucapkan generasi MTV sekarang ini, apakah eksistensi kita lantas menghilang? Tentunya tidak, oleh karena itu eksistensi kita jelas tidak tergantung dari kegiatan berpikir kita.

Soal ego, masih ada teori besar dari bapak psikologi Sigmund Freud. Ia membagi kepribadian manusia menjadi tiga: id, ego, dan superego. Jadi ego itu merupakan hal umum dimana manusia mencoba mempertahankan hidupnya dengannya. Bila ia berhasil mengatasinya, barulah ia naik ke tahapan superego. Agak-agak mistikus? Mungkin saja. Karena untuk jadi superego Anda tak cukup cuma berpikir positif, tapi mengatasi kendala keliaran ego Anda. Cara mengatasinya? Cari jalan sendiri lah yauw!

Apa yang mau saya bagi hari ini adalah, sah-sah saja jadi egois. Hanya saja ingat, bila Anda bersikap begitu, orang lain pasti akan bersikap sama. Maka, jadilah orang egois yang beradab, mungkin begitu istilahnya. Batasi keinginan dan kebebasan Anda, maka Anda bisa mendapatkan tujuan Anda lebih mudah karena kerjasama dan tenggang-rasa dari orang lain. Minggu depan kita akan ngobrol lagi soal kaitan antara ego, moralitas, dan kontrak sosial. Sementara itu, cobalah mengontrol ego Anda, agar suasana Indonesia tidak memanas karena semua orang ingin haknya (baca: tujuan dan keinginannya) didahulukan .

Baca Selanjutnya..

Rupiah sudah tidak berharga lagi di Indonesia


Sudah tahu tentang putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara perbuatan melawan hukum Yayasan Beasiswa SUPERSEMAR ? Saya tidak tertarik untuk membahas tentang materi gugatan yang diajukan Kejaksaan ataupun masalah pendapat hukum tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto ataupun yayasannya tersebut. Saya tertarik dan tergelitik terhadap isi putusan yang pada pokoknya menyatakan, "tergugat II (Yayasan BeasiswaSupersemar) melakukan perbuatan melawan hukum. Karena itu, harus membayar ganti rugi kepada penggugat, yakni Pemerintah RI, sebesar 105 juta dollar AS dan Rp 46,4 miliar". Dollar ???

Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan bahwa satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah (Rp.). Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam fungsinya sebagai alat pembayaran yang sah, maka setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali ditetapkan secara lain. Demikian juga setiap orang atau badan yang berada di wilayah negara Republik Indonesia dilarang menolak untuk menerima uang rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang.

Terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menetapkan membayar ganti rugi dalam mata uang dollar, menurut saya, merupakan putusan yang keliru - yang seharusnya dikoreksi mengingat berdasarkan Pasal 2 UU No. 23 Tahun 199 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 jelas-jelas menegaskan pada pokoknya hanya ada satu mata uang di negara ini yakni Rupiah bukan dollar. Terlebih pengaturan penggunaan mata uang rupiah diatur dalam undang-undang yang artinya aturan tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan dan sesuai dengan azas hukum yang menyatakan bahwa ketika suatu Undang-Undang diundangkan berarti semua orang dianggap tahu, maka semua orang atau badan yang berkaitan dengan aturan tersebut dianggap dan dibebani kewajiban untuk melaksanakan. Apakah majelis hakim yang memutuskan kewajiban membayar ganti rugi kepada Yayasan Supersemar tersebut tidak mengetahuinya ? Rasanya tidak mungkin.

Keharusan penggunaan mata uang Rupiah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengingat mata uang merupakan salah satu simbol kedaulatan negara, yang harus ditegakkan keberadaannya. Penggunaan mata uang rupiah di wilayah Republik Indonesia berarti penghormatan terhadap kedaulatan Indonesia, sementara penggunaan mata uang asing jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap simbol kedaulatan negara itu sendiri. Ironisnya, hal tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim melalui putusannya. Rasanya Rupiah memang tak lagi dihargai dinegeri ini ...

[ itulah Indonesia....]

Baca Selanjutnya..

Selera Propaganda

Kehendak untuk mengamini dan memiliki sesuatu adalah hal yang lumrah. Namun apa yang menjadi dasar sebuah keinginan tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah kita benar-benar menginginkannya ataukah cuma ikut-ikutan saja. Ketidaktahuan terhadap dasar-dasar yang melandasi keinginan terhadap sesuatu malah menjadi sifat baru yang meracun. Sifat seperti ini masih menjadi sifat yang mendominasi masyarakat Indonesia, entah yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah.

Sifat ini merupakan suatu sifat propaganda yang membuat selera masyarakat berubah-ubah, tergantung yang mengawali selera tersebut (trendsetter). Saya tidak setuju dengan sikap para trendsetter ini, karena selera propaganda yang dijual secara manis dihadapan para calon pembelinya, dengan menampilkan adegan-adegan yang "mengundang" orang untuk membeli, sebut saja reklame sebuah produk telekomunikasi yang menawarkan tarif termurah dengan model seorang gadis berpakaian ketat dan menaruh tarif termurah tersebut ditengah-tengah daerah yang "menonjol".

Hebatnya, wajah dan setengah badannya terpampang dihampir sudut kota-kota Indonesia, maklumlah karena wajahnya yang cantik dan senyumnya yang begitu sumringah diikuti dengan pose angka tarif yang terletak didaerah "menonjol" (tentu yang terakhir akan mengganggu aktifitas libido) membuat kita terhipnotis oleh obyek yang dijual oleh produsen telekomunikasi tersebut. Alhasil, produknya sukses terjual di tengah-tengah masyarakat, tapi pernahkah kita memikirkan dampak dari si model? Model ini pun terkena dampak sosial dan mungkin akan menjadi bahan pelecehan karena angka tarif yang terpampang di tengah-tengah dadanya seolah-olah menjelaskan bahwa harga si model pun setarif dengan produk yang diobyeknya.

Lalu apa yang menjadi masalah terhadap selera propaganda? Terlalu naif apabila menyalahkan para trendsetter, namun apa yang disebut sebagai hal yang lumrah apabila terjadi penyalahgunaan terhadap kehendak untuk mengamini sesuatu? Bagi saya, segala bentuk yang dilakukan atas nama selera propaganda merupakan tindakan yang sangat absurditas, tidak mendasari atas kehendak dalam memiliki sesuatu dan hidup dalam keragu-raguan. Seolah-olah kehendak kita dibatasi oleh sekat-sekat yang kita tidak bisa bernafas tanpanya.

Para trendsetter ini, dengan seenak-enaknya menyerahkan dirinya untuk dijual oleh para produsen-produsen yang menggunakannya secara bijak demi keuntungan yang lebih besar lagi. Apalagi kalo bukan untuk sebuah rantai pembunuhan terhadap trend-trend yang sudah usang, sehingga para produsen ini secara tidak langsung berhadapan dengan globalisasi-globalisasi, tantangan-tantangan baru dihadapan para birokrat-birokrat tua yang juga sudah usang dan tidak bermakna lagi bagi para kaum intelektual modern.

Semoga apa yang saya takutkan tentang selera propaganda menjadi benar-benar absurd dan tidak dijadikan agama baru bagi para pemuda/i bangsa yang sedang menjajaki jati diri sendiri maupun bangsa tempat ia tinggal.

Baca Selanjutnya..

Ketidak pedulian dan pemulung

Ketika saya sedang mencoba tampil mengikuti apa yang mungkin disebut oleh khalayak sebagai trend yang datangnya dari budaya luar, ketika saya sedang asik menonton film hollywood dan ketika sedang mendengarkan musik pop semua itu membuatku merasa uptodate dan tidak kuno. Tetapi tiba-tiba terdengar kabar bahwa lagu rasa sayange dan reog ponorogo di klaim oleh negara tetangga sebagai budaya mereka. Maka dengan spontan dan bernada amarah saya jadi membenci dan timbul rasa memusuhi tetangga kita itu(pemulung), perasaan seperti perlahan surut dan beralih menjadi kemarahan terhadap diri sendiri dan bertanya:

Kenapa marah..?

kenapa marah ketika mereka menggunakan budaya kita dan mengklaimnya..?

apakah selama ini saya perduli terhadap reog dan lagu rasa sayange..?

apa alasan saya marah ketika pemulung tersebut mengambil sesuatu yang sudah tidak kita perdulikan lagi..?

Apakah itu karena alasan nasioalisme..?

Kalau karena nasionalisme kenapa tidak mencintai budaya negeri sendiri..?

kenapa kita tidak perduli terhadap budaya kita yang seharusnya menjadi identitas kita...?

manusia macam apa saya ini...?
Memang seharusnya kemarahan ditujukan terhadap ketidak pedulianku terhadap budaya negeri ini.

Ya.... seharusnya marah sekali,
tapi terhadap siapa?
dan untuk apa marah..?

Baca Selanjutnya..

Untuk apa belajar?

Di sebuah majalah/koran entah apa saya lupa karena sudah lama sekali yang kurang lebihnya seperti ini:

Semakin kurang belajar semakin kurang tahu

Semakin kurang tahu semakin kurang lupa

Semakin kurang lupa semakin banyak tahu

Semakin banyak tahu semakin banyak lupa

Semakin banyak lupa semakin kurang tahu

Semakin kurang tahu membuat semakin ingin banyak belajar

Semakin banyak belajar semakin banyak tahu

Semakin banyak tahu semakin banyak lupa

Semakin banyak lupa semakin kurang tahu

Jadi..... untuk apa belajar?
Ya... memang gak ada gunanya?

Tapi mungkin lain halnya kalau pembelajaran tersebut di sertai pemahaman dalam berbagai perspektif, dimana tuntutan untuk kematangan dalam cara memandang menjadi suatu keharusan seiring berjalannya fase-fase hidup yang dilewati.

Halah, kok ya jadi ngelantur aku...

Baca Selanjutnya..

Ekonomi Indonesia yang tangguh?

Belum lama ini wapres tercinta kita berkata :

"Ekonomi kita sangat tangguh. Tak ada ekonomi di dunia ini yang setangguh Indonesia. Semua negara di dunia saat ini kesulitan akan energi, sementara semua energi ada di Indonesia ini"

hmm....
benar sekali pak wapres...!
Buktinya tukang becak makannya nasi aking masih bisa narik.....
Dan ada wanita hamil yang mending mati kelaparan dari pada minta makan kepada bapak-bapak petinggi negri ini..


Ngomong gak perlu kulakan, jadi boleh ngasal.
Iya.. kan pak...?????

Kayak kentut ajah..

Baca Selanjutnya..

Golput dalam PILKADA Meningkat


Golput Pilkada Sumut Diperkirakan Capai 35% Lebih


Medan - Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput, semakin tinggi saja di Sumatera Utara (Sumut). Kepastiannya masih menunggu hasil penghitungan, namun diperkirakan lebih dari 35 persen.

Ada tiga perkiraan mengenai jumlah golput pada Pilkada Sumut ini. Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumatera Utara (Sumut) memperkirakan, pada Pilkada kali ini sekitar 35 persen.

"Masih menunggu hasil penghitungan resmi, baru ditemukan angka yang sebenarnya. Tetapi kita perkirakan sekitar 35 persen. Angkanya tidak lebih dari itu," kata Irham Buana kepada detikcom di Kantor KPUD Sumut, Jl. Perintis Kemerdekaan, Medan, Rabu (16/4/2008).

Sementara Kepala Badan Informasi dan Komunikasi Sumut, Eddy Syofian menyatakan, berdasarkan laporan yang diterimanya dari 25 kabupaten dan kota di Sumut, persentase warga yang memberikan hak pilihnya sekitar 63 persen. Dengan demikian angka golput mencapai 37 persen.

"Persentase terendah itu di Kabupaten Pakpak Bharat, sekitar 40 persen, sementara tertinggi mencapai 85 persen, seperti di Kota Binjai," ujar Eddy Syofian.

Angka golput yang lebih tinggi disampaikan Lingkaran Survei Indonesia. Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia, Denny JA menyatakan, berdasarkan hasil penghitungan cepat atau quick count, persentase golput sekitar 48 persen.

"Angka golput lebih besar dibanding persentase perolehan 27,67 persen suara yang didapat pemenang Pilkada, pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujonugroho, berdasarkan hasil quick count," kata Denny JA.

Mengenai tingginya angka golput ini, Eddy Syofian menyatakan, sosialisasi sudah dilaksanakan dengan baik jauh-jauh hari. Mereka yang tidak memberikan hak suaranya, kemungkinan punya pertimbangan masing-masing.

Detik.com


Golput Pilkada Nganjuk Capai 35 Persen

TEMPO Interaktif, Jakarta:Penghitungan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Nganjuk yang berakhir dengan terpilihnya pasangan bupati dan wakil bupati Taufiqurahman-Abdul Wahid Badrus sebagai pemenang pemilihan, diwarnai dengan tingginya angka golput. Komisi Pemiliham Umum Daerah (KPUD) setempat menyatakan sebanyak 298.312 orang yang tercatat sebagai DPT (daftar pemilih tetap) tidak menggunakan hak suara mereka dalam Pilkada yang digelar 4 Maret 2008 lalu.

“Banyaknya pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya sangat tinggi dan membuat kami terkejut. Sebanyak 298.312 orang atau hampir 35 persen dari jumlah pemilih tetap,” kata M Bawono, Ketua KPUD Nganjuk saat mengumumkan hasil penghitungan suara, Minggu (9/3).

Dari data di KPUD, jumlah suara sah tercatat 527.980 lembar dan tidak sah 28.148 lembar. Padahal DPT (daftar pemilih tetap) sebanyak 849.191 jiwa.

“Terus terang kami sangat kecewa dengan banyaknya warga yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal kami terus-menerus melakukan sosialisasi Pilkada hingga ke seluruh pelosok. Tapi inilah kenyataanya,” kata Bawono.

Tingginya angka golput juga membuat Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Nganjuk bertanya-tanya. Panwas akan segera melakukan evaluasi mengenai hal ini sebagai bahan pertimbangan melaksanakan Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang bakal digelar pada bulan Juli mendatang.

“Kami belum tahu apa kendala yang menyebabkan tingkat kehadiran pemilih tidak bisa mencapai 100 persen. Pelaksanaan Pilkada ini akan bisa menjadi bahan evaluasi untuk melaksanakan Pemilihan Gubernur Jawa Timur bulan Juli mendatang,” kata Herman, salah seorang anggota Panwas Pilkada Nganjuk.

Menurut Herman, selama ini pihaknya sudah berusaha membantu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk mensosialisasikan hari H pencoblosan melalui jajaran
Panwas di 20 kecamatan di Kabupaten Nganjuk.

“Perlu evaluasi mendalam untuk mengetahui penyebab banyaknya rakyat tidak menggunakan hak suaranya. Ini merupakan PR kita semua sebagai bagian dari pendidikan politik rakyat,” kata Herman.DWIDJO U. MAKSUM


Golput Pilkada Sukabumi 25,57 %

SUKABUMI - Jumlah pemilih yang tidak memberikan suaranya atau Golput pada pelaksanaan Pilkada Kota Sukabumi 8 Maret lalu, mencapai 25,57% atau sekira 50 ribu dari 205 362 pemilih.

Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dari jumlah golput pada Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2004 silam yang hanya mencapai 21 % dari jumlah 192.000 pemilih.

Ketua Pokja Sosisalisasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Sukabumi, Ferdhiman PB mengatakan, sikap apatis masyarakat terhadap pemilu diperkirakan akan terus berlanjut hingga suksesi Pemilihan Gubernur
(Pilgub) Jabar 13 April mendatang.

"Pelaksanaan pemilu berulang-ulang yang harus dijalani membuat masyarakat menemui titik bosan. Dalam kondisi seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan pada saat Pilgub nanti tingkat partisipasi masyarakat akan berkurang," ungkap Ferdhiman kepada wartawan, Selasa (11/3/2008).

Disamping itu, tambahnya, faktor lainnya yakni keterbatasan anggaran sosialisasi pemilu. Meski demikian, kata Ferdhiman, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Kota Sukabumi itu, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan empat daerah lainnya yang telah menyelenggarakan pilkada.

Seperti Bekasi, Depok, Cirebon dan Tasikmalaya. Umumnya, tingkat partisipasi masyarakat terhadap pilkada di empat daerah itu, berada pada rata-rata 50%-70%.

"Untuk menekan angka golput pada Pilgub nanti, adalah peningkatan validasi data pemilih. Sebab tingkat golput ini bukan tergantung pada kedatangan pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS), namun selebihnya adalah akibat banyaknya pemilih yang saat pelaksanaan pemungutan suara tengah berada di luar daerah atau luar negeri menjadi TKI," katanya.

Sementara itu, hingga Selasa sore, penghitungan suara sementara KPUD, menunjukan pasangan Mokh Muslikh Abdussyukur-Mulyono (Muslim) masih berada pada puncak kemenangan dengan perolehan suara sebanyak 73.609 suara atau 50,62 %. Sementara kandidat yang masih tetap berada di urutan dibawahnya adalah pasangan Yudi Widiana Adia-Iwan Kustiawan (Yudiwan) dengan perolehan suara mencapai 40.776 suara atau 28,04 % atau hanya terpaut dengan pasangan Muslim sebanyak 32.833.

Pasangan Herman Gurnawijaya-Yanti Indri hanya mengnatongi 18.191 suara atau 12,51 %. Jumlah itu jauh lebih baik dari pasangan calon Dedi Safe'i-Itang Abdul Karim yang hanya meraih suara sebanyak 12.833 suara atau 8,82 %. Penghitungan suara sementara ini akan segera ditetapkan pada tangal 16 Maret mendatang di Gedung Juang 45, Kota Sukabumi.
(Toni Kamajaya/Sindo/kem)


Golput Pilkada Rata-rata 27,8 Persen

JAKARTA, TRIBUN - Riset Lingkaran Survey Indonesia (LSI) terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menunjukkan tingginya angka pemilih tidak menggunakan hak pilihnya suara (golput).

"Jika dibuat rata-rata, tingkat golput selama Pilkada mencapai 27,9 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pada Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden Putaran I, dan Pemilu Presiden Putaran II," kata Direktur Eksekutif LSI Denny JA kepada Persda Network, Minggu (4/11).

Riset yang dipublikasikan Oktober bulan lalu ini menunjukkan tingginya angka pilkada terjadi setelah Pemilu 2004, yang digelar langsung. "Dan kemungkinan fenomena golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Indonesia di masa mendatang," kata Denny.

Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menilai tingginya angka golput disebabkan masyarakat telah jenuh dengan politik "kejenuhan politik" pada masyarakat karena sangat sering nya diadakan pemilu lokal maupun nasional.

"Ini merupakan peringatan dini atas nasib demokrasi di Indonesia dan kalau tidak diantisipasi bisa mengancam demokrasi yang sedang mencari bentuknya di Indonesia,"tegas Ketua Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini kemarin. Solusi atas itu, Priyo meminta semua pihak untuk duduk bersama membicarakan masalah ini. "Karena bagaimana pun partisipasi rakyat dalam menentukan nasib bangsa sangat diperlukan," tegasnya.

Riset LSI bukan survei yang diadakan pra pemilihan tapi dilakukan pada saat pemilihan. Responden diambil dari pemilih yang terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), tetapi tidak ikut memilih di hari pencoblosan. Riset diambil dari data pemilih yang menggunakan hak suara pada 176 provinsi, kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada tahun 2005.

Riset menunjukkan golput tertinggi ada di Jawa, menyusul Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, lalu wilayah Indonesia Timur seperti Papua, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara memiliki golput cukup rendah. (Persda Network/aco)

Golput Sejumlah Pilkada Juni-Juli 2005:
1. Kota Surabaya, dari 2.013. 680 pemilih yang terdaftar, hanya 999.591 pemilih saja yang menggukan haknya (angka partisipasi pemilih hanya 49.64%).
2. Medan, hanya 54.70% dari total 1.459.185 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya.
3. Kota Banjarmasin, sebanyak 52.38% dari total 466.187 pemilih terdaftar ikut memilih.
4. Kota Jayapura, dari 171.611pemilih yang terdaftar, hanya 53.19% saja yang menggunakan hak pilihnya.
5. Provinsi Kepulauan Riau, dari total 925.874 pemilih yang terdaftar, hanya sebanyak 54.66% pemilih ke TPS dan pakai hak suara.

Partisipasi Pemilih dalam Pilkada dan Pemilu :
No. Item Jumlah Pemilih
1. Pilkada (Juni-Juli 2005) 73,1 persen
2. Pemilu Presiden Putaran II 76,7 persen
3. Pemilu Presiden Putaran I 78,5 persen
4. Pemilu 2004 84,1 persen
5. Pemilu 1999 93,3 persen
6. Pemilu 1997 88,9 persen
7. Pemilu 1992 (Orba) 90,9 persen
8. Pemilu 1987 (Orba) 91,3 persen


Penyebab Golput :
1. Latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan,
ras dan sebagainya.
2.Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan
partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.
3. Faktor ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik.
4. Terganjal sistem pendaftaran (registrasi) pemilih.Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan.
5. Alasan teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih-seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Atau bisa juga karena malas pergi ke TPS.
6. Alasan politis. Pemilih memutuskan tidak menggunakan haknya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih.Pilkada dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan, atau tidak adacalon kepala daerah yang disukai dan sebagainya. (Persda Network/aco)

Sumber : Data LSI, Oktober 2007


Baca Selanjutnya..

Sejarah Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1908-1999

1. Gerakan Mahasiswa 1908
Lahirnya generasi pertama lapisan pemuda berpendidikan modern, sebenarnya bukanlah produk sosial yang murni berasal dari rakyat Indonesia. Kehadiran mereka merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini. Melalui kebijakan “Politik Etis” yang diciptakan Belanda setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi persada, kaum pribumi khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.

Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme, realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan tingkat kesadaran politik,para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia.

Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, pada tahun yang sama dengan berdirinya BU oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, dibentuk pula Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia,tahun 1925.

Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxis, dll menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan /atau terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

2. Gerakan Mahasiswa 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.
Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.
Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.

Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.

3. Gerakan Mahasiswa 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan saat itu, maka sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.

4. Gerakan Mahasiswa 1966
Suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer,lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik yang saling bertarung berebut kekuasaan. Pada saat yang sama mahasiswa sendiri lebih melihat diri mereka sendiri sebagai The Future Man ; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Dalam periode ini, pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini juga sebagian karena dipengaruhi oleh munculnya orientasi pemikiran untuk kembali ke kampus dan slogan kebebasan akademik yang membius semangat mahasiswa saat itu. Hanya sedikit perhatian diantara mereka untuk memikirkan masalah-masalah politik.

Namun demikian, di satu sisi masa itu juga ditandai dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik dan aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional yang berperan dalam sistem politik.
Di sisi lain, ada pula perkembangan menarik yang terjadi dengan tumbuhnya aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan lebih bersifat underbouw partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI mendapatkan suasana menggembirakan setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. Sebagai wujud kegembiraan namun sekaligus kepongahan, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Persaingan ini mencapai puncak nantinya tatkala terjadi G30S/PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), seiring dengan upaya pemerintahan Soekarno untuk mengubur partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata.
Tragedi nasional pemberontakan G30S/PKI dan kepemimpinan nasional yang mulai otoriter akhirnya menyebabkan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

5. Gerakan Mahasiswa 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer yang berposisi sebagai pendukung kemapanan.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru.namun meskipun demikian pada umumnya kepercayaan terhadap rezim yang berkuasa tetap ada.
Tetapi, kesabaran mahasiswa mulai menuju titik batasnya setelah penantian akan terkabulnya cita-citanya perubahan yang dijanjikan tidak mendapatkan respon yang sewajarnya. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat”yang dimotori Arif Budiman,dkk yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Akibat dari permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi tersebut, muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung N, Asmara Nababan,dkk.

Dalam tahun 1971, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta mngajukan isu ”ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya.
Terlepas dari semua distorsi mengenai kisah gerakan mahasiswa 1974,antara lain: tidak adanya perubahan monumental yang ditinggalkan, gerakan mahasiswa yang ditunggangi, konflik dan konspirasi elit di pusat kekuasaan versi Jenderal Sumitro versus Ali Moertopo, dll bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mahasiswa 1974 telah menjadi sebuah episode yang bersejarah.

6. Gerakan Mahasiswa 1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes tetap ada namun aksi-aksi itu pada umumnya tidak lagi gaung yang berarti.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif.Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai burning isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat “lokal”.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan “berkampanye”di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian , upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.

Mahasiswa bukan tidak memahami ataupun menyadari berbagai risiko buruk yang bakal dialami akibat gerakan protes mereka. Justru karena itulah, untuk menjaga agar dampak gerakan tidak mengulangi kembali malapetaka 1974, mahasiswa mempertahankan gerakan aksi mereka sebagai gerakan moral semata. Artinya, bahwa gerakan mereka lebih menonjolkan perannya sebagai kekuatan moral dan kontrol kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan, dan bukan sebagai aksi yang berorientasi politik praktis, serta menghindarkan pengaruh vested interest kelompok politik tertentu yang ingin memperalat atau “mengendarai” gerakan mahasiswa.
Pada titik ini ada yang menarik untuk dicatat yaitu terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus itu; disamping penyebabnya adalah karena mahasiswa dianggap telah melakukan “pembangkangan politik”, penyebab lain sebenarnya adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus.
Jadi, karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk mennghindari seperti tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer,malahan dengan cara yang brutal.

Akhir cerita, Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

7. Gerakan Mahasiswa di Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik,dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK,pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,pengarahan,dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis,sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kenyataannya, kelompok studi lebih berfungsi sebagai information actions dengan tujuan the distribution of critical information bagi mahasiswa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.
Perbedaan kedua bentuk wadah ini adalah : jika kelompok studi merupakan bentuk pelarian dari kepengapan kampus dengan ciri gerakannya yang bersifat teoritis, maka LSM menjadi tempat pelarian mahasiswa yang memilih jalur praktis.
Dalam perkembangan berikutnya bermunculan pula berbagai wadah-wadah lain berupa komite-komite aksi untuk merawat kesadaran kritis mahasiswa.
Beberapa kasus “lokal” yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dsb.

Timbul beberapa pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa umumnya hanya mengusung agenda isu lokal dan cenderung marjinal ? mungkin jawabannya adalah :
1. Ketidakberanian untuk menyentuh masalah yang dinilai terlalu sensitif,dan bebannya berat secara politis.
2. Ketidaksanggupan menangkap dan mengungkapkan masalah-masalah fundamental yang lebih signifikan terutama yang bersifat politik nasional sebagai burning issue.
3. Strategi mahasiswa dengan mempertimbangkan kondisi struktural sistem politik Orde Baru yang terlalu mudah bertindak represif.

Jawaban-jawaban tersebut sangat terbuka untuk diperdebatkan, tetapi ada efek lain yang tampaknya harus diperhitungkan,bahwa justru dengan kecenderungan mengangkat isu-isu lokal dan bergerak di wilayah pinggiran itu, disadari atau tidak mahasiswa telah melakukan revitalisasi orientasi model pendekatan dengan membangkitkan kesadaran dan kepercayaan diri rakyat agar mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak individu dan sosialnya.

8. Gerakan mahasiswa 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini dalam eksperimentasi demokrasi. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
9. Gerakan Mahasiswa 1998
Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru, bagaimanapun merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.
Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat,

Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan, tidak mendapatkan jawaban sebagaimana yang diharapkan dari rezim yang berkuasa, terlebih oleh Golongan Karya (Golkar) yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto. Menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1998, dari kalangan tokoh-tokoh kritis mengajukan calon alternatif Presiden maupun Wakil Presiden, antara lain: Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Emil Salim.
Kenyataan menunjukkan, calon-calon tandingan versi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan dari kekuatan politik di MPR, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden. Aksi-aksi mahasiswa yang marak mengajukan protes dan keprihatinan, seolah-olah dianggap angin lalu, sedangkan hasil-hasil dialog dengan berbagai fraksi menuntut agenda Reformasi hanya “ditampung” dalam artian kasar = ditolak.

Berbagai kontroversi kemudian timbul dimasyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini. Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, yang menganggapnya sudah konstitusional. Sikap ABRI terhadap proses peralihan ini secara formal adalah mendukung, lalu bagaiman dengan mahasiswa ?

Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil,tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Berhadapan dengan peristiwa peralihan ini mahasiswa tidak siap, mereka hanya dipersatukan oleh isu utama perlunya Soeharto dipaksa untuk mengundurkan diri. Soal yang terjadi kemudian, agaknya jauh dari antisipasi mahasiswa dan pro reformasi.
Tetapi bagaimanapun, mahasiswa 1998 melalui perjuangannya telah memberikan sesuatu hal yang monumental bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa depan.
Satu hal yang harus diingat, Reformasi Total merupakan sebuah proses yang tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu dan political will yang sungguh-sungguh dari pemegang kekuasaan. Karena itu, kontrol kritis dan tekanan politik dari mahasiswa harus tetap ada di masa sekarang dan akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Adi Suryadi Culla , Patah Tumbuh Hilang Berganti : Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia ( 1908-1998).
A.K. Pringgodigdo SH , Sejarah Pergolakan Rakyat Indonesia.
Sekretariat Negara Republik Indonesia , GERAKAN 30 SEPTEMBER Pemberontakan Partai Komunis Indonesia : Latar belakang, aksi, dan penumpasannya.
Manai Sophiaan , Kehormatan bagi yang berhak : Bung Karno tidak terlibat G 30 S/PKI.
Todiruan Dydo , Pergolakan Politik Tentara : sebelum dan sesudah G 30 S/PKI.
Drs. M.Rusli Karim , Perjalanan Partai Politik di Indonesia : sebuah potret pasang surut.

PS : Tulisan ini materi Kaderisasi Tahap 1, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI)

Baca Selanjutnya..