Curhat Kaskuser!!!

Pernah gak sobat merasakan hidup dlm kekurangan materi? Pdhl materi yang sobat dptkan, sebenarnya, sudah lebih dari cukup? Apakah itu tandanya kita sudah diperbudak oleh uang? Ketika kita bekerja keras utk mencapai taraf hidup, yg menurut kita, mapan. Kemudian? Lama2, kita akan merasa kembali hidup dlm kekurangan. Dan, kita pun kembali bekerja keras tanpa pernah menikmati dan bersyukur atas apa yg telah kta peroleh.

Gue, sama seperti sobat semua. Laki2 normal, pny keinginan utk hidup mampan. Pd tgl 23 April 2000, gue jatuh cinta ama cw, yg menurut gue, perfect.. 7 tahun gue "jalanin hidup" dgn dia. Gue rasa, selama 7 tahun, 2/3 hidup gue ama dia. Gue sayang banget ma dia. Saking sayang gue ama dia, gue berjanji akan nikahi dia dan membahagiakan dia.
Tapi, pikiran gue sangat kolot. Gue berpikir, klo dia bahagia jk gue mapan. Gue bekerja di salah satu Bank Swasta. Dia juga bekerja di salah satu Bank Pemerintah.
Selama gue bekerja, dimulai dari 15 Desember 2005, gue bekerja keras, siang-malam. Gue datang paling pagi dan pulang paling malam. Memang posisi gue hny seorang Clerk. Hasil dari kerja keras, gue berhasil naik pangkat 3x dlm 2 thn, dpt perhargaan karyawan terbaik 2007 se-Jakarta, bonus yg melimpah, dan skrg gue lg promosi utk jabatan Manager. Sebuah prestasi yg luar biasa, menurut gue.

Trnyt, hasil tsb tidak sebanding dgn kenyataan. Gue terpasa kehilangan orang yg gue sayang. Belahan jiwa gue. Gue lupa. Gue gak pernah perhatiin dia lagi. Dlm pikiran gue, dia akan mengerti. Krn semuanya yg gue lakukan, hny utk kebahagiaan dia kelak. Gue marah! Gue kesal! Dia meninggalkan gue 15 Juli 2007.
Gue masih ingat, malam itu dia menangis dan bilang, gue udah berubah. Apanya yg berubah? Bukankah ini semua utk dia? Dia bilang, dia gak butuh semua ini. Dia bilang, gue gak sayang ama dia lagi. Gue hancur! Semua yg gue lakukan terasa hampa. Penghargaan, ketenaran, rasanya sia-sia.

Hari ini,21 April 2008,2 hari menjelang hari "bahagia" buat gue ma dia. Malam ini, gue sadar. Gue gak pernah melakukan hal itu utk dia. Sbnrnya, gue melakukan semua itu utk memenuhi ego gue. Gue baru sadar, trnyt gue orang yg egois. Gue baru ingat, betapa seringnya dia menelpon dan khawatir ttg gue, sedangkan gue asyik sok sibuk dgn pekerjaan gue. Betapa seringnya dia menelpon gue utk sekedar bercerita dgn gue, tp gue malah gak angkat krn gue sibuk dgn teman2 gue. Sok sibuk, supaya gue dianggap paling hebat!
Gue memang egois! Gue baru ingat, ketika dia ketemu gue, dia lagi sakit, tp dia bilang, "Aku gpp koq sayang, klo kamu mo meeting, bsk aja kita ke dokter."
Gue masih ingat................................ GUe gak sanggup....... Gue gak pernah menyadari betapa tulusnya dia sayang ma gue!

Tak terasa saat ini air mata gue jatuh di pipi. Gue selama ini selalu mengingkari rasa sayang dia ke gue...................
Seandainya gue bisa, tp waktu takkan bisa kembali. Saat ini dia sedang mempersiapkan pernikahan dgn co yg mencintai dia sepenuh hati. Gue gak mau ganggu kehidupan dia.....

Sobat, gue cuma ingin mengajak merenung sejenak. Apakah sebenarnya tujuan kita hidup di dunia ini? Apakah mmg uang sudah mengendalikan jiwa, raga, dan pikiran kita? Apakah sukses mmg segala2nya? Pernahkah kita melihat, orang disebelah kita? Yg selalu mendampingi kita? Yg tulus sayang ama kita? Entah itu kekasih, istri, suami, orang tua,atau anak, mereka sbnrnya selalu berdo'a utk kita. Merekalah yg tela ikut memberikan kita kekuatan.
Sobat, jgn sampai mereka pergi dari kita. Sayangilah orang yg sayang kpd kita. Mungkin kita sudah lupa, kpn kita teralhir kali mengatakn kpd mereka, "aku sayang banget ma kmu". Inilah saatnya!
Sobat, katakan hal tsb kpd mereka sekarang juga. Jgn hny mengatakan saja! Tp, buatalah mereka merasakan arti dari kata2 tsb.

There's no free lunch. There's price to be paid for what we've got.
Pesan gue, "Never let her/him go away."

p.s:Syg, aq selalu panggil kmu syg selama 7 thn ini, selamat berbahagia ya. Maaf, aq ak pernah telp kmu. Aq gak mau hub kmu terganggu. Seandainya suatu saat nanti kita bertemu lagi, aq pasti akan bahagiakan kmu. Mungkin bukan di dunia ini. Atau, mungkin tidak akan pernah selamanya...
Ttg kmu, akan sll aq simpan di sini, di dalam hati aq...
Spt lagu pertama yg kita dengar dahulu,"Everyday.... I Love U..."

Baca Selanjutnya..

Manusia dan Egonya

Menurut Thomas Hobbes, seluruh umat manusia pada dasarnya bersifat egois. Tapi implikasi dari hal ini tidak sederhana. Bila semua orang egois, maka sebenarnya akan terjadi perjuangan hidup yang luar biasa. Setiap individu melawan individu lain. Setiap orang berupaya mendapatkan apa pun yang diinginkannya dengan cara apa pun. Homo homini lupus menemui arti dalam konteks seharfiah-harfiahnya.

Oleh karena itu, kita bisa memilih menjadi orang egois dengan dua cara (Rowlands, 2004:148): cara bodoh atau rasional. Semua orang egois ingin mendapatkan keinginannya, tapi yang rasional menyadari bahwa lebih mudah mendapatkannya bila ia bekerjasama dengan orang lain. Kebutuhan dasar manusia seperti diuraikan dalam piramida kebutuhan Abraham Maslow bisa didapatkan bila kerjasama dilakukan. Artinya, masing-masing pihak membatasi tingkat ego mereka, yang sama saja dengan membatasi kebebasan diri mereka. Anda mungkin terkejut, ternyata manusia bisa sebegitu buruknya. Betul, coba saja nonton film-film perangnya Steven Spielberg macam The Thin Red Line atau kisah nyata seperti Hotel Rwanda, Anda bisa lihat bagaimana manusia memangsa manusia lain tanpa hati. Jadi, omong kosong saja sebenarnya semua hal yang dikatakan para motivator tentang kemampuan manusia mengendalikan pikirannya seperti diungkapkan buku The Secret.

Sebenarnya rahasia terbesar manusia –apalagi alam- bukanlah law of attraction, tapi semua hal di alam tergantung satu sama lain. Kalau sekarang, hal itu dikenal sebagai the butterfly effect. Kepakan kupu-kupu bersayap hitam di Jakarta yang terpolusi akan mempengaruhi ekosistem di hutan Amazon yang jauhnya ribuan mil. Mungkin saja kita mencoba mengendalikan pikiran kita, tapi bagaimana dengan pikiran orang lain? Lebih jauh lagi, cogito ergo sum-nya Descartes yang inner view itu sudah lama dikritisi. Tidak mungkin kita tahu kita eksis cuma dari kita berpikir. Pendeknya, kalau kita lagi ‘males mikir’ seperti kerap diucapkan generasi MTV sekarang ini, apakah eksistensi kita lantas menghilang? Tentunya tidak, oleh karena itu eksistensi kita jelas tidak tergantung dari kegiatan berpikir kita.

Soal ego, masih ada teori besar dari bapak psikologi Sigmund Freud. Ia membagi kepribadian manusia menjadi tiga: id, ego, dan superego. Jadi ego itu merupakan hal umum dimana manusia mencoba mempertahankan hidupnya dengannya. Bila ia berhasil mengatasinya, barulah ia naik ke tahapan superego. Agak-agak mistikus? Mungkin saja. Karena untuk jadi superego Anda tak cukup cuma berpikir positif, tapi mengatasi kendala keliaran ego Anda. Cara mengatasinya? Cari jalan sendiri lah yauw!

Apa yang mau saya bagi hari ini adalah, sah-sah saja jadi egois. Hanya saja ingat, bila Anda bersikap begitu, orang lain pasti akan bersikap sama. Maka, jadilah orang egois yang beradab, mungkin begitu istilahnya. Batasi keinginan dan kebebasan Anda, maka Anda bisa mendapatkan tujuan Anda lebih mudah karena kerjasama dan tenggang-rasa dari orang lain. Minggu depan kita akan ngobrol lagi soal kaitan antara ego, moralitas, dan kontrak sosial. Sementara itu, cobalah mengontrol ego Anda, agar suasana Indonesia tidak memanas karena semua orang ingin haknya (baca: tujuan dan keinginannya) didahulukan .

Baca Selanjutnya..

Rupiah sudah tidak berharga lagi di Indonesia


Sudah tahu tentang putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara perbuatan melawan hukum Yayasan Beasiswa SUPERSEMAR ? Saya tidak tertarik untuk membahas tentang materi gugatan yang diajukan Kejaksaan ataupun masalah pendapat hukum tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto ataupun yayasannya tersebut. Saya tertarik dan tergelitik terhadap isi putusan yang pada pokoknya menyatakan, "tergugat II (Yayasan BeasiswaSupersemar) melakukan perbuatan melawan hukum. Karena itu, harus membayar ganti rugi kepada penggugat, yakni Pemerintah RI, sebesar 105 juta dollar AS dan Rp 46,4 miliar". Dollar ???

Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan bahwa satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah (Rp.). Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam fungsinya sebagai alat pembayaran yang sah, maka setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali ditetapkan secara lain. Demikian juga setiap orang atau badan yang berada di wilayah negara Republik Indonesia dilarang menolak untuk menerima uang rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang.

Terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menetapkan membayar ganti rugi dalam mata uang dollar, menurut saya, merupakan putusan yang keliru - yang seharusnya dikoreksi mengingat berdasarkan Pasal 2 UU No. 23 Tahun 199 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 jelas-jelas menegaskan pada pokoknya hanya ada satu mata uang di negara ini yakni Rupiah bukan dollar. Terlebih pengaturan penggunaan mata uang rupiah diatur dalam undang-undang yang artinya aturan tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan dan sesuai dengan azas hukum yang menyatakan bahwa ketika suatu Undang-Undang diundangkan berarti semua orang dianggap tahu, maka semua orang atau badan yang berkaitan dengan aturan tersebut dianggap dan dibebani kewajiban untuk melaksanakan. Apakah majelis hakim yang memutuskan kewajiban membayar ganti rugi kepada Yayasan Supersemar tersebut tidak mengetahuinya ? Rasanya tidak mungkin.

Keharusan penggunaan mata uang Rupiah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengingat mata uang merupakan salah satu simbol kedaulatan negara, yang harus ditegakkan keberadaannya. Penggunaan mata uang rupiah di wilayah Republik Indonesia berarti penghormatan terhadap kedaulatan Indonesia, sementara penggunaan mata uang asing jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap simbol kedaulatan negara itu sendiri. Ironisnya, hal tersebut dilakukan oleh Majelis Hakim melalui putusannya. Rasanya Rupiah memang tak lagi dihargai dinegeri ini ...

[ itulah Indonesia....]

Baca Selanjutnya..

Selera Propaganda

Kehendak untuk mengamini dan memiliki sesuatu adalah hal yang lumrah. Namun apa yang menjadi dasar sebuah keinginan tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah kita benar-benar menginginkannya ataukah cuma ikut-ikutan saja. Ketidaktahuan terhadap dasar-dasar yang melandasi keinginan terhadap sesuatu malah menjadi sifat baru yang meracun. Sifat seperti ini masih menjadi sifat yang mendominasi masyarakat Indonesia, entah yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah.

Sifat ini merupakan suatu sifat propaganda yang membuat selera masyarakat berubah-ubah, tergantung yang mengawali selera tersebut (trendsetter). Saya tidak setuju dengan sikap para trendsetter ini, karena selera propaganda yang dijual secara manis dihadapan para calon pembelinya, dengan menampilkan adegan-adegan yang "mengundang" orang untuk membeli, sebut saja reklame sebuah produk telekomunikasi yang menawarkan tarif termurah dengan model seorang gadis berpakaian ketat dan menaruh tarif termurah tersebut ditengah-tengah daerah yang "menonjol".

Hebatnya, wajah dan setengah badannya terpampang dihampir sudut kota-kota Indonesia, maklumlah karena wajahnya yang cantik dan senyumnya yang begitu sumringah diikuti dengan pose angka tarif yang terletak didaerah "menonjol" (tentu yang terakhir akan mengganggu aktifitas libido) membuat kita terhipnotis oleh obyek yang dijual oleh produsen telekomunikasi tersebut. Alhasil, produknya sukses terjual di tengah-tengah masyarakat, tapi pernahkah kita memikirkan dampak dari si model? Model ini pun terkena dampak sosial dan mungkin akan menjadi bahan pelecehan karena angka tarif yang terpampang di tengah-tengah dadanya seolah-olah menjelaskan bahwa harga si model pun setarif dengan produk yang diobyeknya.

Lalu apa yang menjadi masalah terhadap selera propaganda? Terlalu naif apabila menyalahkan para trendsetter, namun apa yang disebut sebagai hal yang lumrah apabila terjadi penyalahgunaan terhadap kehendak untuk mengamini sesuatu? Bagi saya, segala bentuk yang dilakukan atas nama selera propaganda merupakan tindakan yang sangat absurditas, tidak mendasari atas kehendak dalam memiliki sesuatu dan hidup dalam keragu-raguan. Seolah-olah kehendak kita dibatasi oleh sekat-sekat yang kita tidak bisa bernafas tanpanya.

Para trendsetter ini, dengan seenak-enaknya menyerahkan dirinya untuk dijual oleh para produsen-produsen yang menggunakannya secara bijak demi keuntungan yang lebih besar lagi. Apalagi kalo bukan untuk sebuah rantai pembunuhan terhadap trend-trend yang sudah usang, sehingga para produsen ini secara tidak langsung berhadapan dengan globalisasi-globalisasi, tantangan-tantangan baru dihadapan para birokrat-birokrat tua yang juga sudah usang dan tidak bermakna lagi bagi para kaum intelektual modern.

Semoga apa yang saya takutkan tentang selera propaganda menjadi benar-benar absurd dan tidak dijadikan agama baru bagi para pemuda/i bangsa yang sedang menjajaki jati diri sendiri maupun bangsa tempat ia tinggal.

Baca Selanjutnya..

Ketidak pedulian dan pemulung

Ketika saya sedang mencoba tampil mengikuti apa yang mungkin disebut oleh khalayak sebagai trend yang datangnya dari budaya luar, ketika saya sedang asik menonton film hollywood dan ketika sedang mendengarkan musik pop semua itu membuatku merasa uptodate dan tidak kuno. Tetapi tiba-tiba terdengar kabar bahwa lagu rasa sayange dan reog ponorogo di klaim oleh negara tetangga sebagai budaya mereka. Maka dengan spontan dan bernada amarah saya jadi membenci dan timbul rasa memusuhi tetangga kita itu(pemulung), perasaan seperti perlahan surut dan beralih menjadi kemarahan terhadap diri sendiri dan bertanya:

Kenapa marah..?

kenapa marah ketika mereka menggunakan budaya kita dan mengklaimnya..?

apakah selama ini saya perduli terhadap reog dan lagu rasa sayange..?

apa alasan saya marah ketika pemulung tersebut mengambil sesuatu yang sudah tidak kita perdulikan lagi..?

Apakah itu karena alasan nasioalisme..?

Kalau karena nasionalisme kenapa tidak mencintai budaya negeri sendiri..?

kenapa kita tidak perduli terhadap budaya kita yang seharusnya menjadi identitas kita...?

manusia macam apa saya ini...?
Memang seharusnya kemarahan ditujukan terhadap ketidak pedulianku terhadap budaya negeri ini.

Ya.... seharusnya marah sekali,
tapi terhadap siapa?
dan untuk apa marah..?

Baca Selanjutnya..

Untuk apa belajar?

Di sebuah majalah/koran entah apa saya lupa karena sudah lama sekali yang kurang lebihnya seperti ini:

Semakin kurang belajar semakin kurang tahu

Semakin kurang tahu semakin kurang lupa

Semakin kurang lupa semakin banyak tahu

Semakin banyak tahu semakin banyak lupa

Semakin banyak lupa semakin kurang tahu

Semakin kurang tahu membuat semakin ingin banyak belajar

Semakin banyak belajar semakin banyak tahu

Semakin banyak tahu semakin banyak lupa

Semakin banyak lupa semakin kurang tahu

Jadi..... untuk apa belajar?
Ya... memang gak ada gunanya?

Tapi mungkin lain halnya kalau pembelajaran tersebut di sertai pemahaman dalam berbagai perspektif, dimana tuntutan untuk kematangan dalam cara memandang menjadi suatu keharusan seiring berjalannya fase-fase hidup yang dilewati.

Halah, kok ya jadi ngelantur aku...

Baca Selanjutnya..

Ekonomi Indonesia yang tangguh?

Belum lama ini wapres tercinta kita berkata :

"Ekonomi kita sangat tangguh. Tak ada ekonomi di dunia ini yang setangguh Indonesia. Semua negara di dunia saat ini kesulitan akan energi, sementara semua energi ada di Indonesia ini"

hmm....
benar sekali pak wapres...!
Buktinya tukang becak makannya nasi aking masih bisa narik.....
Dan ada wanita hamil yang mending mati kelaparan dari pada minta makan kepada bapak-bapak petinggi negri ini..


Ngomong gak perlu kulakan, jadi boleh ngasal.
Iya.. kan pak...?????

Kayak kentut ajah..

Baca Selanjutnya..