Ketika Politik Semata Bermuara pada Kekuasaan

Di tengah centang-perenang suasana politik Indonesia, Presiden Megawati
menyerukan tantangan: tunggu pemilu 2004. Berbagai tanggapan bermunculan
atas tantangan ini. Ada yang mengatakan wajar, ada yang mengatakan
emosional, ada pula yang mengatakan terlalu percaya diri tapi kurang
realistis. Namun yang tidak boleh diabaikan adalah tanggapan yang menggugat
bahwa tantangan tersebut sebenarnya menunjukkan kuatnya orientasi politik
akan kekuasaan.
Memang bisa disimpulkan demikian, bahwa semua pertentangan, debat, kritik
bahkan gugatan akan ketepatan pilihan kebijakan, akhirnya bermuara pada soal
perebutan kekuasaan. Nuansa tersebut tidak saja terlihat dalam isi tantangan
presiden tersebut, tetapi juga dalam wacana sekitar presidium maupun dalam
salah satu issu kuat demonstrasi: turunkan Mega-Hamzah.
Maka bisa dimengerti kalau kemudian ada yang gelisah: bangsa ini tidak
sungguh belajar bagaimana berdemokrasi, masih saja suka membuat petualangan
politik, menurunkan yang tidak disukai dan mengangkat yang lain, padahal
hasilnya sama saja. Kita tidak berangkat dari konsep utuh dan menyeluruh
bagaimana negara ini mau dibangun. Namun sekedar melakukan ”hobby”
menggoyang-goyang pohon pinang untuk berebut hadiah, demikian sering
diumpamakan.

Penyelewengan Makna
Politik pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun tatanan kehidupan bersama
secara lebih modern. Maka hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, atau
siapa yang nekat dia yang berjaya, tidak bisa diberlakukan lagi. Terlebih
tatanan tersebut diarahkan agar mereka yang dalam posisi lemah dan kalah
tidak semakin tersingkir dan dimarginalisasi.
Namun kenyataan berbicara lain. Politik sebagai suatu tatanan sosial memberi
tempat bagi kenyamanan, bahkan juga keuntungan, bagi mereka yang berada
dalam posisi menentukan. Maka kemudian aspek pelayanan bergeser pada arus
aspek pemanfaatan kuasa demi keuntungan.
Kasus Perang Irak II bisa dipakai sebagai contoh. AS, bersama sekutu
kentalnya Inggris, tetap saja berambisi menyerang, karena sudah mengincar
keuntungan bisnis minyak paska-perang. Maka tuduhan akan adanya
oil-connection pada diri mereka yang berada di balik dinding kekuasaan
Gedung Putih sangat kuat. Argumen logis tidak lagi diperlukan, sehingga
bantahan tim pemeriksa senjata PBB akan tuduhan bahwa Irak memiliki potensi
senjata nuklir menghancurkan tidak masuk di akal. Yang masuk akal baginya
hanyalah keuntungan, dan dianggap keuntungan yang akan datang itu akan
membuai rakyat Amerika untuk terus mendukung mereka.
Kelangsungan kekuasaan tidak didasarkan pada sejauhmana tata kehidupan
bersama berlangsung baik, dengan memberi penghargaan serta jaminan akan
kelompok lemah. Kapital yang lalu menjadi tolok ukur. Memang pertumbuhan
ekonomi menjadi tolok ukur vital bagi suatu penilaian keberhasilan kekuasaan
politik. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan keadilan akan
meletuskan bom waktu yang bisa meluluhlantakkan fundamen stabilitas yang
dibangun.
Kekerasan dan apa yang sering disebut barat sebagai terorisme, pun dalam
banyak hal merupakan bentuk yang lahir dari situasi ketidakadilan. Apalagi
kalau ketidakadilan tersebut tidak saja berwujud ketidakadilan ekonomi,
sosial dan politik, tetapi juga ketidakadilan agama. Arogansi barat memang
tak jarang memandang rendah dan salah kultur dan religiusitas yang bukan
Barat.
Apa yang terjadi di Indonesia, demonstrasi, reaksi tajam akan sosok
pemerintahan harus diakui merupakan pula letupan yang timbul akibat
ketidakadilan. Kekuasaan politik ternyata tidak begitu berpihak pada yang
lemah. Malahan beban mereka semakin berat dan menekan. Penguasa pun dirasa
semakin jauh dari realitas kehidupan wong cilik, yang dikatakan ingin
dibelanya. Bahkan korupsi yang katanya ingin dibasmi malahan secara kasat
mata semakin merebak ke mana-mana.
Politik telah terselewengkan dari maknanya, karena lebih berorientasi pada
kekuasaan yang menguntungkan. Bila demikian bisa kita pertanyakan, pemilu,
ataupun upaya pendongkelan kekuasaan, bisa jadi hanyalah soal rebutan
kesempatan untuk meraup keuntungan. Bila ini yang terjadi, maka politik
hanyalah menjadi soal rebut-merebut rezeki.

Mengembalikan Makna
Saat menjelang pemilu di Jerman dan Austria berapa waktu lalu, bahkan belum
lama ini di Belanda, sering dilontarkan sejumlah persoalan atau isu mendasar
yang diharapkan menjadi perhatian. Isu tersebut antara lain soal
kesejahteraan sosial, penghargaan akan pluralitas, tempat bagi imigran dan
penghargaan akan kehidupan keluarga.
Bahkan di berbagai belahan negara Eropa, juga parlemen Uni Eropa, mucul
kesadaran akan pentingnya kembali pada dasar-dasar nilai moral. Sebagai
kawasan yang punya akar kultur Kristiani, muncul keinginan untuk belajar
kembali dari nilai-nilai Kristiani sebagai landasan tatanan sosial kehidupan
bersama.
Orientasi yang hanya mengejar keuntungan serta pertumbuhan ekonomi belaka
ternyata tidak mampu menyelesaikan berbagai soal dalam kehidupan bersama.
Malahan lilitan ketidakadilan serta ketidakseimbangan dalam hidup makin
terasa. Proses kehidupan bersama yang berjalan tanpa landasan nilai yang
kokoh juga dirasakan tidak mampu menghantarkan masyarakat pada suatu
kehidupan bersama yang kuat, jalinan relasi bersama yang padu.
Pembicaraan mengenai perlunya kembali pada landasan nilai yang kokoh semakin
sering menjadi topik diskusi politik dalam forum publik. Memang ada
pro-kontranya, terlebih ketidakinginan topik itu lalu diartikan kembalinya
agama dalam kehidupan politik.

Memang tampaknya demikian. Yang lebih dimaksudkan adalah dikukuhkannya
kembali nilai religiusitas, penghargaan akan pribadi dan kehidupan keluarga,
serta penghargaan akan kelompok sosial baru dan minoritas, termasuk juga
kelompok Islam, yang makin menjadi fenomen yang harus diakui.
Di Indonesia, kecenderungan untuk mengembalikan makna politik masih jauh
dari harapan. Yang lebih terjadi adalah rebut-merebut, jegal-menjegal, dan
tantang-menantang. Kalaupun fenomen politiknya adalah politik kekuasaan,
politik kekuasaan yang khas di Indonesia sekarang adalah politik pertarungan
kekuasaan. Memang seakan situasinya seperti orang mau bertarung:
tantang-menantang.
Agama pun lebih dimaksudkan sebagai bentuk dan kelompok, bukan berdasar pada
nilai. Kalau agama lebih dilihat sebagai kelompok, maka agama bisa terjebak
pula dalam pertarungan kekuasaan yang ada: tantang-menantang, rebut-merebut.
Akibatnya, tidak pernah bisa masuk sungguh dalam gugatan mendasar: mengapa
bangsa Indonesia yang menyebut diri beragama, korupsi dan penyelewengannya
membengkak, kekerasannya merebak, dan ancaman perpecahannya mendesak.
Oleh karena itu kiranya yang mendesak dilakukan, oleh siapa saja, entah ikut
tertantang saat pemilu nanti atau tidak, adalah segera menemukan kembali
nilai kehidupan bersama, yang mendasari kehidupan berbangsa kita ini. Kita
sebenarnya telah punya Pancasila. Dan tentu selayaknya setelah diselewengkan
pengartiannya, perlu digali kembali nilai-nilai itu, dikaji dan dipelajari
kembali.
Tanpa kembali ke nilai dasar, kehidupan politik di negara kita ini akan
tetap menjadi politik kekuasaan, bahkan politik pertarungan kekuasaan.
Akibatnya, seperti sudah kita lihat benihnya: kesengsaraan makin meluas dan
kemiskinan makin menganga, sementara itu kepedulian dari mereka yang di atas
tidak kunjung tiba, karena mereka sibuk dalam permainan politik mencari
keuntungan.
Orde Baru mengatakan ingin mengembalikan bangsa ini pada nilai sebenarnya,
namun yang terjadi malahan penyelewengan makin nyata. Reformasi mengatakan
hal serupa, namun kenyataannya penyelewengan tidak makin berhenti.
Mungkin benar, bangsa ini memang besar nyalinya saat berjanji, namun tak
punya nyali menjalankan janji, demikian pula halnya dalam janji jabatan
ataupun janji kampanye. Malahan, ikut terjebak dalam iming-iming kekuasaan.
Benar politik punya dua sisi kontradiktif: yang satu membebaskan rakyat,
yang lain menindas rakyat. Penguasa politik nyatanya lebih suka memilih sisi
yang menindas.
Dalam situasi ini orang lalu sering bermimpi membayangkan Indonesia adalah b
angsa yang besar. Bahkan karena membayangkan sebagai bangsa besar lalu
merasa punya kekuatan untuk mendesak AS dan Australia, bahkan juga IMF.
Namun kenyataannya, kita masih menjadi bangsa yang berkutat dengan dirinya
sendiri, karena masih ribut berebut ”tulang kekuasaan”. Maka kalau dikatakan
kita berada dalam transisi, proses transisi kita tidak akan pernah selesai
bila keributan tidak segera diakhiri.
Memang tidak bisa seperti presiden yang menyalahkan pers, menyalahkan yang
mengkritik dan menentangnya, bahkan kemudian melemparkan tantangan. Semua
itu tidak akan menyelesaikan soal.
Yang lebih dibutuhkan adalah keterbukaan serta kesediaan untuk berdialog.
Namun ini yang tidak dilakukan. Yang lebih ada adalah arogansi kekuasaan dan
perasaan sudah kuat karena di sedang berada di atas, dan keyakinan diri
bahwa akan menang lagi.
Kekuasaan yang terlalu yakin diri justru akan potensial menjalankan politik
kekuasaan semata, karena hanya mendengarkan dirinya sendiri. Bila ini yang
terjadi, tak ubah seperti Bush, cowboy, gembala sapi dari AS. Ataukah memang
penguasa kita lebih sekedar gembala banteng, dan bukan pengemban amanat
rakyat?

Baca Selanjutnya..

Fenomena Artis Jadi Pemimpin

Setelah Rano Karno berhasil menjadi Wakil Bupati Tangerang. Kini Dede Yusuf berpeluang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat, setelah Dede dan pasangannya, Ahmad Heryawan sementara unggul dari 2 pasangan lainnya.

Rano Karno yang terkenal sebagai Si Doel, dikenal sebagai sosok yang baik dalam film dan sinetron2nya. Hal tersebut memudahkan pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada saat mencoblos. Karena sosoknya yg terkenal, masyarakat lebih melihat pada figurnya daripada partai yang mendukungnya.

Begitu pula dengan Dede Yusuf yang merupakan salah satu aktor yang lahir dari televisi. Perannya yang menjadi manusia yang arif, penolong, baik hati, alim, atau ”Pramuka tulen” itu selama dekade 1980-an hingga 1990-an menjadi sosok yang memenuhi mimpi masyarakat Indonesia yang menderita. Tidak heran, anak laki-laki yang lahir di era itu, dinamakan Dede Yusuf dengan harapan anak itu kelak menjadi manusia seperti Dede Yusuf yang tergambar di sejumlah sinetron. Iklan Bodrex yang diperankan oleh Dede Yusuf juga menjadi kunci keunggulan, karena masyarakat sering melihat iklannya, baik di media elektronik maupun media cetak.

Kemenangan Rano Karno dan (insya Allah) Dede Yusuf, kemungkinan besar, sebagai wakil kepala daerah di Tanggerang dan Jawa Barat, menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia yang miskin sangat mempercayai televisi sebagai ruang mimpi mereka. Mereka seakan percaya, apa yang diperankan Rano Karno dan Dede Yusuf di televisi lebih menjanjikan dibandingkan peran para politisi atau mantan pejabat yang dibesarkan partai politik dan birokrasi.

Jadi, meskipun dua contoh aktor itu masih terlalu minor, tampaknya masyarakat Indonesia telah memiliki mitos baru mengenai pemimpinnya. Sama seperti pada masyarakat tradisional yang memitoskan turunnya ”Ratu Adil”.

Bila fenomena ini terus berlanjut, bisa jadi presiden Indonesia 2009-2014 bukan lagi praktisi politik yang sudah malang melintang, melainkan artis-artis yang banyak menyuarakan penderitaan rakyat seperti Iwan Fals atau Dedy Mizwar.

Baca Selanjutnya..