Manusia dan Egonya

Menurut Thomas Hobbes, seluruh umat manusia pada dasarnya bersifat egois. Tapi implikasi dari hal ini tidak sederhana. Bila semua orang egois, maka sebenarnya akan terjadi perjuangan hidup yang luar biasa. Setiap individu melawan individu lain. Setiap orang berupaya mendapatkan apa pun yang diinginkannya dengan cara apa pun. Homo homini lupus menemui arti dalam konteks seharfiah-harfiahnya.

Oleh karena itu, kita bisa memilih menjadi orang egois dengan dua cara (Rowlands, 2004:148): cara bodoh atau rasional. Semua orang egois ingin mendapatkan keinginannya, tapi yang rasional menyadari bahwa lebih mudah mendapatkannya bila ia bekerjasama dengan orang lain. Kebutuhan dasar manusia seperti diuraikan dalam piramida kebutuhan Abraham Maslow bisa didapatkan bila kerjasama dilakukan. Artinya, masing-masing pihak membatasi tingkat ego mereka, yang sama saja dengan membatasi kebebasan diri mereka. Anda mungkin terkejut, ternyata manusia bisa sebegitu buruknya. Betul, coba saja nonton film-film perangnya Steven Spielberg macam The Thin Red Line atau kisah nyata seperti Hotel Rwanda, Anda bisa lihat bagaimana manusia memangsa manusia lain tanpa hati. Jadi, omong kosong saja sebenarnya semua hal yang dikatakan para motivator tentang kemampuan manusia mengendalikan pikirannya seperti diungkapkan buku The Secret.

Sebenarnya rahasia terbesar manusia –apalagi alam- bukanlah law of attraction, tapi semua hal di alam tergantung satu sama lain. Kalau sekarang, hal itu dikenal sebagai the butterfly effect. Kepakan kupu-kupu bersayap hitam di Jakarta yang terpolusi akan mempengaruhi ekosistem di hutan Amazon yang jauhnya ribuan mil. Mungkin saja kita mencoba mengendalikan pikiran kita, tapi bagaimana dengan pikiran orang lain? Lebih jauh lagi, cogito ergo sum-nya Descartes yang inner view itu sudah lama dikritisi. Tidak mungkin kita tahu kita eksis cuma dari kita berpikir. Pendeknya, kalau kita lagi ‘males mikir’ seperti kerap diucapkan generasi MTV sekarang ini, apakah eksistensi kita lantas menghilang? Tentunya tidak, oleh karena itu eksistensi kita jelas tidak tergantung dari kegiatan berpikir kita.

Soal ego, masih ada teori besar dari bapak psikologi Sigmund Freud. Ia membagi kepribadian manusia menjadi tiga: id, ego, dan superego. Jadi ego itu merupakan hal umum dimana manusia mencoba mempertahankan hidupnya dengannya. Bila ia berhasil mengatasinya, barulah ia naik ke tahapan superego. Agak-agak mistikus? Mungkin saja. Karena untuk jadi superego Anda tak cukup cuma berpikir positif, tapi mengatasi kendala keliaran ego Anda. Cara mengatasinya? Cari jalan sendiri lah yauw!

Apa yang mau saya bagi hari ini adalah, sah-sah saja jadi egois. Hanya saja ingat, bila Anda bersikap begitu, orang lain pasti akan bersikap sama. Maka, jadilah orang egois yang beradab, mungkin begitu istilahnya. Batasi keinginan dan kebebasan Anda, maka Anda bisa mendapatkan tujuan Anda lebih mudah karena kerjasama dan tenggang-rasa dari orang lain. Minggu depan kita akan ngobrol lagi soal kaitan antara ego, moralitas, dan kontrak sosial. Sementara itu, cobalah mengontrol ego Anda, agar suasana Indonesia tidak memanas karena semua orang ingin haknya (baca: tujuan dan keinginannya) didahulukan .