Drama Soekarno

Drama Soekarno


Oleh: Asvi Warman Adam

Ada beberapa negarawan dunia ketiga yang juga berjiwa seni. Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh pernah menulis puisi yang kemudian dibukukan setelah mereka berkuasa. Sajak-sajak mereka bernuansa perjuangan selain memperlihatkan kecintaan kepada rakyat. Hal yang sama juga dilakukan Soekarno meskipun yang ditulisnya bukan puisi melainkan drama, baik semasa di pengasingan di Ende, Flores 1934-1938 maupun di Bengkulu 1938-1942.


Beberapa judul dari drama yang disusun Soekarno adalah Chungking-Jakarta, Rainbow (Poetri Kentjana Boelan), Koetkoetbi, Si Kecil, Hantu Gunung Boengkoek (disunting Agus Setiyanto dan diterbitkan dengan judul Bung Karno Maestro Monte Carlo, 2006).

Menurut Bakdi Soemanto, drama yang ditulis Bung Karno (BK) ini termasuk teater realis. Pertama, karena persoalan yang dibicarakan adalah masalah sehari-hari berbeda dengan lakon-lakon yang dipertunjukkan Teater Dardanella yang masa itu cukup terkenal. Tema drama yang ditulis tersebut mencakup percintaan, balas dendam, kriminalitas, hantu, kutukan dan kecerdikan dengan tokoh orang Indonesia dan asing, bahkan negara asing.

Kedua, selain dari teks pokok yang berisi nama pemain dan dialognya, disediakan juga teks samping (tentang petunjuk permainan dan properti yang dibutuhkan), sesuatu yang biasanya terdapat pada lakon realis. Bila selama ini dianggap aliran realisme muncul tahun 1950-an, maka Soekarno telah meletakkan fondasinya sejak tahun 1930-an.

Apa hubungan antara naskah drama dan penyutradaraan yang dilakukan Soekarno semasa muda dengan aktivitas politiknya di kemudian hari. Aspek dramaturgi telah dikuasai BK dan diterapkan dalam menghadapi penonton dalam hal ini rakyat yang mendengarkan pidatonya dengan bersemangat.

Panggung itu benar-benar dipersiapkan, termasuk penciptaan suasana yang bergelora sebelum kedatangan Bung Karno sebagaimana terlihat dalam pidato 30 September 1965 seperti dituturkan Eddi Elison dan ajudan BK, Maulwi Saelan. Eddi yang waktu itu reporter TVRI diminta mendadak oleh Saelan untuk menggantikan MC yang kurang bisa membakar semangat hadirin.

Perang saudara

Eddi memulai acara ketika BK datang dengan mempersoalkan spanduk di belakang podium yang ejaan bahasa Sanskertanya salah tulis. Spanduk itu mengutip nasihat Kresna, "Kerjakan engkau punya kewajiban tanpa menghitung untung-rugi". Karena persoalan ini sudah disinggung pembawa acara, maka di luar rencana, Bung Karno juga berbicara tentang perang saudara Pandawa dengan Kurawa. Karena ini rezim Orba menuduh Soekarno sudah tahu akan terjadi sesuatu pada tanggal 1 Oktober 1965.

Begitu pula dengan pidato 1 Juni 1965 yang terkenal itu. pidato itu memperoleh sambutan hangat dari anggota BPUPKI karena disampaikan dengan penuh perasaan dan semangat. Sebelum menjelaskan tentang dasar negara, Soekarno bicara panjang lebar tentang perlunya mencapai merdeka selekas-lekasnya. Diibaratkan Bung Karno, orang yang ingin kawin tidak harus punya rumah dulu, punya perabot, dan seterusnya. Demikian pula dengan merdeka, tidak usah menunggu sampai ada berbagai kelengkapan negara.

Pada masa Orde Baru, Soeharto berdiri di depan anggota DPR hanya sekadar membaca pidato, ia tidak menghadapi publik seperti Bung Karno. Bila BK berpidato tanggal 17 Agustus, maka Soeharto tanggal 16 seolah-olah ia mendahului Bung Karno.

Bung Karno membutuhkan suatu organisasi, yaitu kelompok sandiwara Monte Carlo di Bengkulu. Ia juga membutuhkan penonton yang menyaksikan drama tersebut. Ada pesan yang ingin disampaikannya. Apa yang dilakukan Soekarno tahun 1930-an itu mengawali kebijakannya beberapa puluh tahun kemudian. Secara simbolis ketika membayangkan pembangunan Jakarta sejak awal tahun 1960-an yang dibayangkan Bung Karno adalah sebuah panggung.

Ia membutuhkannya untuk menggelorakan semangat masyarakat atau dengan kata lain dalam rangka "character and nation building".

Panggung adalah identitas Soekarno, demikian menurut arsitek Abidin Kusno, sedangkan podium merupakan "embodiment" Bung Karno. Panggung adalah simbol komunikasi antara diri sang pemimpin dan rakyat. Pemanggungan bangunan dan monumen di Jakarta merupakan pemanggungan diri Soekarno. Setelah Soekarno jatuh, panggung itu menjadi tidak bersuara, bangunan jadi kosong dan monumen menjadi tidak bergerak.

Maka, ketika kekuasaan diserahkan kepada Soeharto tahun 1967, yang dilakukan sang Jenderal pertama-pertama adalah melarang Bung Karno untuk "manggung". Sejak 30 September 1965 sampai Februari 1967, ia masih sempat berpidato lebih dari 100 kali, namun tidak (boleh) diliput pers.

Soekarno dikurung di Wisma Yasso dan tidak boleh dikunjungi masyarakat seperti tercantum dalam surat perintah Pangdam Siliwangi HR Dharsono. Agar tidak bertemu rakyat, ketika tahun 1967 saat ia sakit gigi, Bung Karno dibawa dengan mobil dari Bogor langsung masuk ke garasi dokter gigi Oei di Menteng. Pintunya ditutup dan Bung Karno masuk rumah lewat garasi.

Bila Achmad Albar pernah menulis lirik lagu bahwa "dunia itu hanya panggung sandiwara", maka Bung Karno tentunya telah lebih dulu menyampaikan pesan bahwa "politik itu hanya panggung sandiwara". Soekarno telah mengatur dan bermain drama sejak tahun 1930-an. Hal yang sama dijalaninya dalam bidang politik. Bukankah perjalanan karier Soekarno tidak lain dari drama dari masa kejayaan sampai kejatuhannya. Drama seorang negarawan, bahkan juga drama dari sebuah bangsa terjajah yang berjuang untuk merdeka dan ternyata kini dijajah lagi dalam bentuk lain.

Dr Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: KCM Minggu,30 Juli 2006

Baca Selanjutnya..

Makna Merdeka

Sebuah Ungkapan” Merdeka!!!’ yang terlentang telanjang…

Menghadapi kebobrokan zaman…….

Merdeka Bukan Kata-kata …

Besok kita akan memperingati 61 tahun Kemerdekaan Indonesia. Setiap kali perayaan dilakukan segera muncul pertanyaan, apa arti kemerdekaan itu?

Pertanyaan itu menjadi relevan ketika kita melihat perdebatan di antara elite politik menjelang pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pagi hari ini. Tidak terlihat perdebatan yang substantif. Isinya hanya sekadar niatan untuk melakukan interupsi. Atau paling jauh tuntutan kepada Presiden untuk tidak hanya menyampaikan pidato yang normatif.

Padahal, kalau kita lihat kondisi kita setelah 61 tahun merdeka, banyak hal yang harus kita perhatikan. Banyak yang lebih penting dibicarakan, antara lain kekayaan alam yang kita miliki mulai jauh berkurang. Persoalannya, selama ini kita tidak pernah menginvestasikan apa yang diambil dari alam ini untuk membuat kualitas bangsa ini menjadi lebih meningkat dan lebih baik.

Kita seperti lupa bahwa di samping anugerah yang melimpah ruah itu, ada ancaman besar yang menghadang kita. Empat lempengan Bumi yang terus bergerak di bawah tanah yang kita pijak ini menuntut kita untuk lebih cerdas mengantisipasinya. Tanpa itu, setiap kali kita hanya akan menjadi korban, entah korban gempa bumi, tsunami, atau gunung meletus.

Bangsa-bangsa di dunia berlomba untuk maju. Mereka bersaing untuk bisa mengakumulasikan modal. Namun, pengakumulasian modal itu bukan dimaksudkan untuk membuat bangsa berlimpah secara materi, tetapi meningkat dalam kehidupannya, menjadi lebih cerdas, agar kemudian bisa mengantisipasi berbagai ancaman yang tidak pernah diketahui kapan akan datang.

Contoh paling nyata adalah bangsa Jepang. Bagaimana bangsa yang hancur pada Perang Dunia II itu bisa bangkit menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia. Namun, kelimpahan ekonomi itu tidak membuat mereka menjadi bangsa yang hidup foya-foya. Mereka jadikan keberhasilan itu untuk juga mengembangkan ilmu pengetahuan agar mereka bisa menerapkan sistem mitigasi yang bisa menyelamatkan bangsanya, karena seperti kita, bencana alam selalu mengancam kehidupan mereka.

Masih banyak lagi hal yang jauh lebih penting, yang harus kita pikirkan sebagai bangsa. Misalnya, laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik yang menunjukkan peningkatan produk domestik bruto per kapita kita menjadi di atas 1.300 dollar AS.

Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi, laporan BPS itu pantas membuat kita prihatin. Mengapa? Karena itu artinya kesenjangan di antara kita semakin tinggi. Semakin jauh perbedaan antara kelompok orang yang diuntungkan, mendapatkan privilese, dan mereka yang dirugikan (deprived).

Peringatan HUT Ke-61 RI sepantasnya kita gunakan untuk membicarakan masalah-masalah kebangsaan yang lebih mencerahkan. Kemerdekaan yang kita harus raih bukan hanya sekadar merdeka dalam kata-kata, yang hanya manis di mulut, tetapi kemerdekaan yang sesuai dengan tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada yang merasa dirugikan lagi.

Surat dari Cacat Veteran

Asvi Warman Adam

Korps Cacat Veteran pada tanggal 21 Juli 2006 melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tembusan surat itu disampaikan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Pertahanan, dan Panglima TNI selain kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Yang menarik, ketua LIPI juga mendapat tembusan surat itu.

Di LIPI surat ini mendapat perhatian serius. Apakah sebagai lembaga akademik LIPI memiliki kewajiban formal untuk menanggapi surat itu? Atau apakah LIPI seperti dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dianggap sebagian masyarakat sebagai "Lembaga Ilmu Politik Indonesia". Jika benar demikian, ini tentu sebuah kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat terhadap lembaga penelitian yang senantiasa menjaga otonomi dan profesionalitasnya.

Menyentuh perasaan

Surat itu amat sederhana tetapi amat menyentuh perasaan saat diungkap dalam suasana memperingati kemerdekaan. Para cacat veteran itu telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan risiko kehilangan anggota tubuh. Dengan senjata seadanya, mereka melawan tentara Belanda dengan dukungan Sekutu yang kembali ke Indonesia untuk menguasai Tanah Air.

Kehilangan anggota tubuh adalah sesuatu yang tidak terbayangkan saat berangkat bergerilya. Namun, hal itulah yang menimpa mereka. Dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, mereka harus menjalani kehidupan setelah Belanda enyah dari persada Ibu Pertiwi.

Tahun 1994 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1994 yang menetapkan cacat veteran memperoleh tunjangan bulanan bila cacat satu anggota badan (misalnya tangan atau kaki) Rp 22.000. Bila kehilangan dua anggota tubuh memperoleh Rp 44.000. Roeslan Abdulgani (alm) yang kehilangan dua setengah jarinya dalam perang kemerdekaan tentu mendapat sekian persen dari Rp 22.000.

Surat itu meminta Presiden meninjau kembali besar (atau kecil)-nya tunjangan itu. Apalah artinya Rp 22.000 sekarang, apa yang bisa dibeli dengan uang sebesar/kecil itu. Apakah tunjangan bagi para cacat veteran tidak dapat dinaikkan menjadi Rp 1 juta, yakni sebesar tunjangan bulanan Ahli Peneliti Utama (jabatan fungsional tertinggi dalam bidang penelitian) LIPI?

Keadilan dalam pendapatan

Angka-angka itu membuahkan pertanyaan, apakah sudah ada keadilan dalam pendapatan yang diberikan pemerintah terhadap pejabat negara dan pegawai negeri. Seorang anggota DPR yang sudah memperoleh gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah masih menerima Rp 35 juta lagi untuk keperluan menerima masukan dari konstituennya. Pegawai negeri eselon satu dan dua, baik di pusat dan daerah, menerima tunjangan struktural yang berjumlah jutaan rupiah.

Ketika pemerintah menetapkan gaji ke-13, para pejabat negara itu tidak malu-malu mengantongi pendapatan yang "sudah menjadi hak mereka" itu. Terdapat sekian banyak komisi nasional yang anggotanya memperoleh gaji/honor di atas Rp 10 juta per bulan, seperti KPK, Komnas HAM, KPPU, Komisi Yudisial, KPI, dan Komisi Ombudsman Nasional.

Gaji di antara PNS di berbagai departemen juga tidak sama. Ada saja aturan yang ditetapkan agar pegawai departemen tertentu mendapat tambahan gaji/tunjangan. Profesi seperti hakim mendapat tunjangan khusus. Pegawai BATAN, misalnya, memperoleh tunjangan radiasi nuklir meski mereka berkantor jauh dari instalasi atom.

Peneliti BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mendapat TSP (tunjangan selisih pendapatan) sejak BJ Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Ketentuan mengenai pendapatan para pejabat negara dan pegawai negeri sipil ini perlu dikaji dan ditinjau kembali secara saksama.

Namun yang paling mendesak agar tunjangan bagi cacat veteran dapat diberikan dalam jumlah wajar. Para cacat veteran kini rata-rata berusia 75 tahun. Kalau itu dilaksanakan, jelas tidak akan membebani pemerintah.

Enam puluh satu tahun sudah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Tapi pertanyaan sinis kerap disampaikan: "Benarkah kita sudah merdeka?" Dengarkan lagu iklan layanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang dinyanyikan para pengamen dan orang berdasi di mobil yang tampak gerah mendengarnya. "Benarkah kita sudah merdeka, sementara korupsi masih merajalela?" Orang pun sering menjawab: "Belum". Bukankah slogan kaum nasionalis sampai sekarang pun masih tak beranjak dari perang kemerdekaan: "Merdeka! Merdeka! Merdeka!?" Jadi, kemerdekaan macam apa yang sebenarnya kita cari?

Soekarno, sang proklamator kita, jauh hari menyatakan kemerdekaan hanya jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Di seberang jembatan itulah keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia seharusnya diwujudkan. Proses mewujudkan keadilan dan kemakmuran di seberang jembatan emas itulah yang ternyata tak gampang. Tak semudah membalikkan telapak tangan.

Kita ingat sebagai fakta bagaimana slogan "Revolusi Belum Selesai" menggema setelah satu dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan 1945. Tak hanya menunjukkan ke mana arah dan bagaimana Indonesia harus dibangun, "Revolusi Belum Selesai" jelas juga menunjukkan konflik ideologis dalam memaknai kemerdekaan Indonesia (kita). Bung Karno maju dengan kesimpulan baru: rakyat Indonesia masih dibelenggu nekolim: neokolonialisme dan imperialisme, sementara masih banyak dari rakyat Indonesia yang merindukan zaman normal di masa kolonialisme Belanda.

Bung Karno pun menyerukan perlunya sikap berdikari: berdiri di kaki sendiri daripada mengemis pada modal asing dan didikte karenanya: "Go to hell with your aid!". Tri Sakti pun diajukan sebagai jalan keluar mewujudkan rakyat Indonesia yang adil dan makmur: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Namun masa gegap gempita yang dipenuhi dengan mobilisasi rakyat seperti pawai, rapat akbar disertai orasi-orasi yang menggelegar ini ditutup dengan peristiwa G30S 1965. Selama Orde Baru berkuasa, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi tertuduh tunggal pelaku G30S yang membunuh tujuh jenderal dengan keji. Akibatnya, PKI dan organisasi simpatisannya dinyatakan sebagai partai dan organisasi terlarang. Komunisme tak boleh diajarkan dan disebarkan di Indonesia. Ribuan aktivis dan simpatisannya dibunuh walau tak tahu-menahu dengan G30S. Sebagian besar lagi dikirim ke penjara-penjara di seluruh Indonesia, termasuk ke pulau pembuangan: Buru.

Jenderal Soeharto pun berkuasa, 32 tahun. Ke mana arah dan bagaimana Indonesia mesti dibangun, berbeda 180 derajat dengan Bung Karno. Tak ada orasi-orasi seperti Ki Dalang. Tak ada mobilisasi-mobilisasi rakyat turun ke jalan-jalan. Tak ada debat dan polemik. Jenderal Soeharto tampil di depan rakyat begitu tenang, kalem, bahkan banyak senyum ramah sebagaimana gambaran masyarakat yang harmoni tanpa konflik. Modal asing pun mengalir deras menciptakan gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan yang mulus.

Namun, di balik semua itu utang menumpuk berbukit-bukit; pers dikontrol, partai-partai politik dan organisasi massa disatukan dalam ideologi tunggal: Pancasila. Yang menolak dijadikan musuh negara dicap PKI atau ekstrem kanan bahkan pada petani-petani yang hanya sekadar mempertahankan tanah-tanahnya karena ganti rugi yang tak sesuai; juga pada kaum buruh yang menuntut kenaikan upah. Pancasila menjadi palu godam kekuasaan untuk membungkam nada-nada kritis rakyat yang dianggap merongrong kekuasaan. Penjara pun tak pernah sepi dari pejuang-pejuang prodemokrasi diiringi dengan jerit tangisnya karena siksa oleh tangan-tangan yang kebal hukum. Kematian terkadang begitu dekat.

Tak ada demokrasi di bawah Soeharto, begitulah kesimpulan dari mahasiswa-mahasiswa dan intelektual kritis yang gelisah. Diskusi-diskusi pun dibangun. Aksi-aksi massa dilancarkan. Golongan Putih menjadi pilihan ketika pemilu Orde Baru diselenggarakan. Sampai akhirnya: kediktatoran Orde Baru harus ditumbangkan. Begitulah saripati dari syair-syair berontak Rendra, Emha, dan Thukul. Rakyat makin memperbesar barisannya untuk menjebol tirani. Dan Soeharto pun jatuh. Demokrasi diraih membawa angin segar reformasi dan memberi peluang pada sipil menduduki jabatan berkuasa: Presiden Republik Indonesia lebih cepat dari yang dibayangkan. Sedikit bernapas lega: Merdeka.

Namun, pertanyaan kemerdekaan macam apa pascareformasi terus saja menghantui. Korupsi masih merajalela, penggusuran orang-orang miskin terus terjadi, pendidikan dan kesehatan makin mahal, kepedulian sosial tampak menjauh, bencana alam datang bertubi-tubi, utang negara menumpuk, krisis moral terjadi di mana-mana. Kita punya kekayaan alam melimpah: tambang emas, tembaga, minyak ...tetapi mengapa cuma menjadi kuli di negeri sendiri dan hidup miskin, mati seperti ayam mati di lumbung padi? Tentu semua ini bukan kemerdekaan yang kita cari. Lalu?

Enam puluh satu tahun sudah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Tak seharusnya kemiskinan dan kesengsaraan terus merajalela. Demokrasi tentu adalah modal awal kemerdekaan sejati kita sebagaimana jembatan emas yang dinyatakan Bung Karno. Karenanya demokrasi yang kita raih saat ini pun seharusnya semakin dapat memajukan rakyat menggapai keadilan dan kesejahteraannya. Biarlah juga debat dan polemik tumbuh untuk mempertegas arah dan bagaimana Indonesia mesti dibangun. Karenanya kita tak perlu risi dengan tumbuhnya partai-partai baru menjelang Pemilu 2009.

Tumbuhnya partai-partai baru itu jelas mencerminkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi rakyat Indonesia di samping tentu saja cerminan demokrasi (baca: rasa merdeka) yang diraih pascakediktatoran Orde Baru. Tugas pemerintahlah yang seharusnya semakin menjamin dan memperteguh mekanisme demokrasi seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat sendiri telah menunjukkan kekuatannya dalam memperjuangkan demokrasi sebagaimana ditunjukkan pada hari-hari di bulan Mei 1998 itu dan tak lupa: 27 Juli 1996.

Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandeng tangan: mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali: perang kemerdekaan: setidaknya menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945.

Merdeka, untuk Apa?

Bangsa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Kini, 61 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, kita bertanya, merdeka, untuk apa?

Pada perspektif kemerdekaan sebagai proses tumbuh kembang keberadaban manusia dan bangsa, kita menegaskan bahwa kita merdeka untuk: (1) menjadi makin pandai dan arif; (2) bekerja makin efektif dan efisien; (3) mengalami hidup yang makin bahagia; (4) menjadi insan dan bangsa yang makin beradab.

Kini, sudahkah keempat hal itu terejawantah? Di sana-sini keempat hal itu telah terejawantah sebagai titik-titik kecil di tengah hamparan luas kehidupan nyata insan dan bangsa Indonesia, tetapi pada hamparan luas kehidupan itu tertebar pula bercak-bercak besar kebodohan dan ketidakarifan, kekurangmampuan bekerja secara efektif dan efisien, kesengsaraan dan penderitaan, dan kekurangberadaban.

Pada ulang tahun ke-61 Proklamasi Kemerdekaan, bentangan kehidupan nyata insan dan bangsa Indonesia masih berupa mosaik yang tersusun oleh titik-titik kecil kemerdekaan dan bercak-bercak besar ketidakmerdekaan. Agenda penting kita terwakili oleh pertanyaan: bagaimana kita mengusahakan pelebaran titik-titik kemerdekaan dan penciutan bercak-bercak ketidakmerdekaan, lewat upaya-upaya pada perspektif individual, budaya, dan struktural secara sekaligus?

Keempat ciri insan dan bangsa merdeka (pandai/arif; kerja efektif/efisien; hidup bahagia; beradab) akan kian bertumbuh kembang lewat pendidikan individual multifokus untuk memberdayakan individu mendayagunakan kepiawaiannya dalam berkata-kata/berbahasa; berpikir logis dan berhitung; mewujudnyatakan gerak ragawi yang produktif, efektif, dan menyehatkan; menyatakan pikiran, perasaan, dan mewujudnyatakan pemecahan masalah lewat gambar dan musik; menggalang hubungan antarmanusia yang empatetik, adil, saling menguntungkan, saling menumbuhkembangkan, dan damai; menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan keandalan diri (pengenalan diri, disiplin diri, kontrol diri, dan kejujuran diri yang baik); menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan hubungan yang sehat dan harmonis dengan alam, dunia hewan, dan dunia tumbuhan; menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan hubungan yang penuh makna dengan dunia pemikiran mendalam dan Tuhan. Demi tumbuh kembang keempat ciri insan dan bangsa merdeka, kita niscaya mengejawantahkan pendidikan multifokus secara lengkap (holistik) dan menyeluruh (komprehensif), tanpa kecuali.

Upaya pada perspektif individual itu perlu dan niscaya didukung oleh budaya prokemerdekaan dan struktur kekuasaan prokemerdekaan, yang menjadi tempat hidup yang sehat untuk individu-individu merdeka. Budaya dan struktur kekuasaan yang prokemerdekaan adalah budaya dan struktur kekuasaan yang menghargai, mengutamakan dan mengejawantahkan: (1) komunikasi yang adil dan jujur lewat pendayagunaan kata dan bahasa; (2) pendayagunaan proses berpikir yang logis, rasional, transparan, dan akuntabel; (3) pendayagunaan gerak ragawi yang produktif, efektif, dan menyehatkan; (4) ekspresi seni yang mencerahkan, menggelitik introspeksi dan perbaikan, serta memberikan pengalaman keindahan; (5) hubungan antarmanusia (antarwarga bangsa) yang empatetik, adil, harmonis, damai, saling menguntungkan, dan saling menumbuhkembangkan; (6) pendidikan dan pelatihan disiplin diri, kejujuran, dan kontrol diri yang andal; (7) hubungan yang sehat, harmonis, dan adil dengan alam, dunia hewan, dan dunia tumbuhan; (8) hubungan yang mendalam dan penuh makna dengan dunia pemikiran mendalam dan Tuhan.

Pendidikan individual multifokus yang memerdekakan dan budaya serta struktur kekuasaan yang prokemerdekaan jelas tidak sejalan dengan praktik kekerasan; penindasan; ketertutupan; ketidakjujuran; patgulipat; proses berpikir tidak logis, tak rasional, tak akuntabel; praktik penghambatan ekspresi seni; pemanfaatan gerak ragawi untuk praktik kekerasan dan penindasan; hubungan antarmanusia (antarwarga bangsa) yang tidak adil, penuh prasangka, diskriminatif, dan rasistik; kualitas diri insani yang tak jujur dan tidak disiplin; hubungan eksploitatif dengan alam, fauna, dan flora; praktik religius dan spiritual yang dangkal dan miskin makna.

Semoga beberan singkat gambaran individu, budaya, dan struktur kekuasaan yang merdeka itu menggelitik kita untuk benar-benar merdeka. Dirgahayu Republik Indonesia!

Besok, tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-61. Setiap kali merayakan hari kemerdekaan, setiap itu pula muncul berbagai pertanyaan dalam diri kita. Salah satunya perihal nasionalisme. Bagaimanakah nasionalisme kita dewasa ini?

Banyak kalangan menilai, nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa telah lusuh dan usang. Hemat penulis, nasionalisme menjadi lusuh dan usang karena ia telah teramat sering dibajak oleh rezim-rezim yang berkuasa hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tak bisa lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan melalui tulisannya yang terkenal, What is a Nation?, mengatakan, nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan.

Pemikiran Ernest Renan ini amat memengaruhi alur berpikir dari pemikir-pemikir sesudahnya, salah satunya Benedict Anderson. Benedict Anderson memaknai imagined community sebagai cikal bakal munculnya konsep nasionalisme.

Suatu bangsa pada dasarnya ialah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, sekaligus berkedaulatan. Pada komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi di benak setiap anggotanya hidup bayangan tentang kebersamaan dan persaudaraan.

Melalui konsep imagined community dapat kita identifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme digunakan sebagai amunisi bersama dalam menentang hegemoni kolonialisme.

Namun, kini nasionalisme bangsa terasa kian meredup sinarnya. Sebab utamanya adalah kian maraknya praktik negatif kekuasaan. Mulai dari buruknya kinerja serta rusaknya etika birokrat, elite politik, para penegak hukum, tindakan-tindakan represif negara, sampai pada ketidakadilan pembagian "kue pembangunan" telah mengakibatkan makin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial di dalam masyarakat.

Hal itu kemudian mengakibatkan hilangnya kepercayaan (distrust) masyarakat terhadap negara. Masyarakat tidak memiliki panutan dalam bertindak. Akibat lebih lanjut dari hal ini adalah makin memudarnya kohesi sosial bangsa Indonesia. Padahal—sebagaimana Francis Fukuyama katakan—kepercayaan merupakan social capital terpenting dalam masyarakat. Masyarakat yang distrust amat kontraproduktif dengan bangunan masyarakat sipil yang kuat, yang notabene merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya negara demokrasi modern.

Realitas itu diperparah dengan lemahnya civic nationalism bangsa sehingga mengakibatkan suburnya semangat ethno-nationalism di masyarakat. Ethno-nationalism ialah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Tetapi dalam pengertian lebih luas, ethno-nationalism didefinisikan sebagai doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip-prinsip hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah pemerintahan sendiri.

Ethno-nationalism dapat pula dibaca sebagai bentuk hilangnya loyalitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap sebuah ikatan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara Indonesia. Jika fenomena ethno-nationalism berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan mustahil bila riwayat NKRI akan berujung pada disintegrasi bangsa sebagaimana yang pernah dialami Uni Soviet dulu.

Dalam menyikapi fenomena itu, pemerintah sedapat mungkin harus menghindari cara-cara represif. Cara-cara persuasiflah yang seharusnya dikedepankan, misalnya dalam menghadapi gerakan ethno-nationalism yang bertujuan untuk memisahkan diri, maka yang harus dilakukan adalah negosiasi ulang pembagian sumber daya ekonomi daerah.

Pendekatan dialogis senantiasa harus selalu diutamakan dan diusahakan semaksimal mungkin. Selain itu, penting pula adanya sebuah pengakuan resmi secara konstitusional terhadap berbagai bentuk identitas primordial yang ada bahwa keberadaannya akan memperkaya khazanah identitas nasional bangsa keseluruhan.

Pengakuan itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri masing-masing kelompok masyarakat—terlebih yang memiliki potensi ethno-nationalism dan separatisme—bahwa tindakan untuk memisahkan diri dari NKRI guna menjadi negara tersendiri merupakan hal yang tidak menguntungkan.

# Di kutip dari…………P4w in NATIONALITY

Beliau adalah Presiden untuk sebuah jiwa yang kosong, dibawah kebenaran dan diatas kesalahan……

Meraung-raung dalam sampah-sampah idealisme kecoa..

Dan demokrasi picik!

Bendera merah putih bukan lagi bendera kaum nasionalis……….. darah mereka bukan lagi darah merah…………. Yang ada hanya perut dan warna perut……………………………………………………………………………………. FUCK !!!!!! atau merdeka ?!?

Baca Selanjutnya..

Global Warning

Global Warning of Global Warming




Pernyataan di bawah berikut ini mungkin akan membuat kita tersentak sekaligus terbelalak. Ia berbunyi: “Pernyataan pemanasan global itu sungguh nyata cuma omong kosong. Pernyataan itu diulang-ulang oleh para aktivis guna meyakinkan sekaligus menakut-nakuti publik bahwa iklim akan berubah menjadi malapetaka, dan aktivitas manusialah penyebab utamanya.” Kalimat itu diucapkan senator AS dari Partai Republik, James Inhofe, yang juga merupakan Ketua Environment and Public Works Committee Senat AS, setahun lalu.

Pernyataan itu diperkuat lagi dengan pernyataan Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara dengan sebuah radio lokal di AS belum lama ini, yang menunjukkan keraguan sang direktur bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar yang harus diatasi manusia. Dalam wawancara tersebut, salah satu petikan pernyataan Griffin yang kemudian banyak dikutip adalah, “Iklim bumi saat ini adalah iklim yang terbaik yang pernah kita punyai.”

Benarkah pemanasan global sungguh-sungguh merupakan akibat dari ulah manusia yang terlalu rakus mengeksploitasi bumi dan ceroboh menjaga keseimbangan alam? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal terpenting yang harus diatasi manusia?

Inhofe memaparkan beragam fakta dan kutipan yang mendukung argumennya. Menurutnya, media memainkan peranan penting dalam menggelorakan isu yang tidak benar ini. Ia pun mengungkapkan penelusurannya terhadap laporan beberapa media terkemuka seperti Newsweek, Majalah Time, Harian New York Times, Chicago Tribune, dan juga Jurnal Science News. Didapatinya, media-media tersebut pada era tahun 1900-an justru melaporkan kekhawatiran akan datangnya abad es, bukan pemanasan atau melelehnya es. Hingga periode 1920-1930-an sampai menjelang akhir tahun 1970-an, media-media terkemuka di AS itu masih sangat gencar memberitakan dan melaporkan bahaya perubahan bumi menjadi bola es.

Ia pun melecehkan Protokol Kyoto, sebuah protokol yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di kolong bumi ini guna mengurangi emisi gas-gas pembentuk rumah kaca di mana AS menolak menandatanganinya, sebagai kesepakatan dan solusi yang tidak ada artinya dalam rangka mengurangi emisi gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengurangi gas-gas tersebut adalah penggunaan alat pembersih gas dan teknologi yang lebih efisien untuk menekan gas tersebut bertebaran ke angkasa.

Namun pernyataan Inhofe berbau politis itu tak menyurutkan gerakan global di seluruh dunia bahwa ancaman pemanasan bumi sungguh-sungguh nyata dan harus diperangi dari sekarang oleh semua pihak. Inhofe, politisi dari Partai Republik, sebagaimana halnya Presiden AS George W. Bush yang juga dari Partai Republik, jelas tidak mau kepentingan mereka terusik terusik gara-gara harus menekan emisi gas rumah kaca yang di AS sebagian besar dihasilkan dari pembangkit listrik berenergi fosil (BBM, batubara).

Tak hanya Inhofe dan Bush yang bersikap “bebal” terhadap perubahan iklim. Lebih dari 17 ribu ilmuwan -- dua ribu lebih di antaranya adalah fisikawan, geofisikawan, ahli iklim, ahli meteorologi, dan pakar lingkungan- menandatangani petisi yang diedarkan oleh Oregon Institut of Science and Medicine di AS. Salah satu kalimat dalam petisi itu menyatakan, “Tidak ada bukti-bukti ilmiah bahwa pelepasan gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas-gas rumah kaca lainnya yang mengakibatkan pemanasan akut terhadap temperatur bumi dan kerusakan pada iklim bumi.”

Terlepas dari kenyataan dan pernyataan politik yang diungkapkan di atas, fakta-fakta berikut ini berbicara jauh lebih kuat dan nyata, memperlihatkan ke mana arah perubahan iklim di bumi ini akan menuju dan bermuara.

Fakta-fakta

Kita mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen.

Masih di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area gletser/glacier menunjukkan derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.

Tidak hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik. Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.

Mari beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963 hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun sejak sekarang.

Konsekuensi dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915 hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh tahun antara 1985-1995.

Apa yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga, Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan sepanjang aliran sungai-sungai itu.

Tak hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun 1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju, sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka. Artinya, tidak ada lagi salju di sana.

Pelelehan es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja. Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.

Konsekuensi dan Risiko

Karena energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.

Namun, konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu. Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.

Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan ratusan juta umat manusia.

Konsekuensi di Tingkat Lokal
Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat.

Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.

Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.

Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.

Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.

Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya— sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.

Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkret memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.

Baca Selanjutnya..