Drama Soekarno

Drama Soekarno


Oleh: Asvi Warman Adam

Ada beberapa negarawan dunia ketiga yang juga berjiwa seni. Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh pernah menulis puisi yang kemudian dibukukan setelah mereka berkuasa. Sajak-sajak mereka bernuansa perjuangan selain memperlihatkan kecintaan kepada rakyat. Hal yang sama juga dilakukan Soekarno meskipun yang ditulisnya bukan puisi melainkan drama, baik semasa di pengasingan di Ende, Flores 1934-1938 maupun di Bengkulu 1938-1942.


Beberapa judul dari drama yang disusun Soekarno adalah Chungking-Jakarta, Rainbow (Poetri Kentjana Boelan), Koetkoetbi, Si Kecil, Hantu Gunung Boengkoek (disunting Agus Setiyanto dan diterbitkan dengan judul Bung Karno Maestro Monte Carlo, 2006).

Menurut Bakdi Soemanto, drama yang ditulis Bung Karno (BK) ini termasuk teater realis. Pertama, karena persoalan yang dibicarakan adalah masalah sehari-hari berbeda dengan lakon-lakon yang dipertunjukkan Teater Dardanella yang masa itu cukup terkenal. Tema drama yang ditulis tersebut mencakup percintaan, balas dendam, kriminalitas, hantu, kutukan dan kecerdikan dengan tokoh orang Indonesia dan asing, bahkan negara asing.

Kedua, selain dari teks pokok yang berisi nama pemain dan dialognya, disediakan juga teks samping (tentang petunjuk permainan dan properti yang dibutuhkan), sesuatu yang biasanya terdapat pada lakon realis. Bila selama ini dianggap aliran realisme muncul tahun 1950-an, maka Soekarno telah meletakkan fondasinya sejak tahun 1930-an.

Apa hubungan antara naskah drama dan penyutradaraan yang dilakukan Soekarno semasa muda dengan aktivitas politiknya di kemudian hari. Aspek dramaturgi telah dikuasai BK dan diterapkan dalam menghadapi penonton dalam hal ini rakyat yang mendengarkan pidatonya dengan bersemangat.

Panggung itu benar-benar dipersiapkan, termasuk penciptaan suasana yang bergelora sebelum kedatangan Bung Karno sebagaimana terlihat dalam pidato 30 September 1965 seperti dituturkan Eddi Elison dan ajudan BK, Maulwi Saelan. Eddi yang waktu itu reporter TVRI diminta mendadak oleh Saelan untuk menggantikan MC yang kurang bisa membakar semangat hadirin.

Perang saudara

Eddi memulai acara ketika BK datang dengan mempersoalkan spanduk di belakang podium yang ejaan bahasa Sanskertanya salah tulis. Spanduk itu mengutip nasihat Kresna, "Kerjakan engkau punya kewajiban tanpa menghitung untung-rugi". Karena persoalan ini sudah disinggung pembawa acara, maka di luar rencana, Bung Karno juga berbicara tentang perang saudara Pandawa dengan Kurawa. Karena ini rezim Orba menuduh Soekarno sudah tahu akan terjadi sesuatu pada tanggal 1 Oktober 1965.

Begitu pula dengan pidato 1 Juni 1965 yang terkenal itu. pidato itu memperoleh sambutan hangat dari anggota BPUPKI karena disampaikan dengan penuh perasaan dan semangat. Sebelum menjelaskan tentang dasar negara, Soekarno bicara panjang lebar tentang perlunya mencapai merdeka selekas-lekasnya. Diibaratkan Bung Karno, orang yang ingin kawin tidak harus punya rumah dulu, punya perabot, dan seterusnya. Demikian pula dengan merdeka, tidak usah menunggu sampai ada berbagai kelengkapan negara.

Pada masa Orde Baru, Soeharto berdiri di depan anggota DPR hanya sekadar membaca pidato, ia tidak menghadapi publik seperti Bung Karno. Bila BK berpidato tanggal 17 Agustus, maka Soeharto tanggal 16 seolah-olah ia mendahului Bung Karno.

Bung Karno membutuhkan suatu organisasi, yaitu kelompok sandiwara Monte Carlo di Bengkulu. Ia juga membutuhkan penonton yang menyaksikan drama tersebut. Ada pesan yang ingin disampaikannya. Apa yang dilakukan Soekarno tahun 1930-an itu mengawali kebijakannya beberapa puluh tahun kemudian. Secara simbolis ketika membayangkan pembangunan Jakarta sejak awal tahun 1960-an yang dibayangkan Bung Karno adalah sebuah panggung.

Ia membutuhkannya untuk menggelorakan semangat masyarakat atau dengan kata lain dalam rangka "character and nation building".

Panggung adalah identitas Soekarno, demikian menurut arsitek Abidin Kusno, sedangkan podium merupakan "embodiment" Bung Karno. Panggung adalah simbol komunikasi antara diri sang pemimpin dan rakyat. Pemanggungan bangunan dan monumen di Jakarta merupakan pemanggungan diri Soekarno. Setelah Soekarno jatuh, panggung itu menjadi tidak bersuara, bangunan jadi kosong dan monumen menjadi tidak bergerak.

Maka, ketika kekuasaan diserahkan kepada Soeharto tahun 1967, yang dilakukan sang Jenderal pertama-pertama adalah melarang Bung Karno untuk "manggung". Sejak 30 September 1965 sampai Februari 1967, ia masih sempat berpidato lebih dari 100 kali, namun tidak (boleh) diliput pers.

Soekarno dikurung di Wisma Yasso dan tidak boleh dikunjungi masyarakat seperti tercantum dalam surat perintah Pangdam Siliwangi HR Dharsono. Agar tidak bertemu rakyat, ketika tahun 1967 saat ia sakit gigi, Bung Karno dibawa dengan mobil dari Bogor langsung masuk ke garasi dokter gigi Oei di Menteng. Pintunya ditutup dan Bung Karno masuk rumah lewat garasi.

Bila Achmad Albar pernah menulis lirik lagu bahwa "dunia itu hanya panggung sandiwara", maka Bung Karno tentunya telah lebih dulu menyampaikan pesan bahwa "politik itu hanya panggung sandiwara". Soekarno telah mengatur dan bermain drama sejak tahun 1930-an. Hal yang sama dijalaninya dalam bidang politik. Bukankah perjalanan karier Soekarno tidak lain dari drama dari masa kejayaan sampai kejatuhannya. Drama seorang negarawan, bahkan juga drama dari sebuah bangsa terjajah yang berjuang untuk merdeka dan ternyata kini dijajah lagi dalam bentuk lain.

Dr Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: KCM Minggu,30 Juli 2006