Makna Merdeka

Sebuah Ungkapan” Merdeka!!!’ yang terlentang telanjang…

Menghadapi kebobrokan zaman…….

Merdeka Bukan Kata-kata …

Besok kita akan memperingati 61 tahun Kemerdekaan Indonesia. Setiap kali perayaan dilakukan segera muncul pertanyaan, apa arti kemerdekaan itu?

Pertanyaan itu menjadi relevan ketika kita melihat perdebatan di antara elite politik menjelang pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pagi hari ini. Tidak terlihat perdebatan yang substantif. Isinya hanya sekadar niatan untuk melakukan interupsi. Atau paling jauh tuntutan kepada Presiden untuk tidak hanya menyampaikan pidato yang normatif.

Padahal, kalau kita lihat kondisi kita setelah 61 tahun merdeka, banyak hal yang harus kita perhatikan. Banyak yang lebih penting dibicarakan, antara lain kekayaan alam yang kita miliki mulai jauh berkurang. Persoalannya, selama ini kita tidak pernah menginvestasikan apa yang diambil dari alam ini untuk membuat kualitas bangsa ini menjadi lebih meningkat dan lebih baik.

Kita seperti lupa bahwa di samping anugerah yang melimpah ruah itu, ada ancaman besar yang menghadang kita. Empat lempengan Bumi yang terus bergerak di bawah tanah yang kita pijak ini menuntut kita untuk lebih cerdas mengantisipasinya. Tanpa itu, setiap kali kita hanya akan menjadi korban, entah korban gempa bumi, tsunami, atau gunung meletus.

Bangsa-bangsa di dunia berlomba untuk maju. Mereka bersaing untuk bisa mengakumulasikan modal. Namun, pengakumulasian modal itu bukan dimaksudkan untuk membuat bangsa berlimpah secara materi, tetapi meningkat dalam kehidupannya, menjadi lebih cerdas, agar kemudian bisa mengantisipasi berbagai ancaman yang tidak pernah diketahui kapan akan datang.

Contoh paling nyata adalah bangsa Jepang. Bagaimana bangsa yang hancur pada Perang Dunia II itu bisa bangkit menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia. Namun, kelimpahan ekonomi itu tidak membuat mereka menjadi bangsa yang hidup foya-foya. Mereka jadikan keberhasilan itu untuk juga mengembangkan ilmu pengetahuan agar mereka bisa menerapkan sistem mitigasi yang bisa menyelamatkan bangsanya, karena seperti kita, bencana alam selalu mengancam kehidupan mereka.

Masih banyak lagi hal yang jauh lebih penting, yang harus kita pikirkan sebagai bangsa. Misalnya, laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik yang menunjukkan peningkatan produk domestik bruto per kapita kita menjadi di atas 1.300 dollar AS.

Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi, laporan BPS itu pantas membuat kita prihatin. Mengapa? Karena itu artinya kesenjangan di antara kita semakin tinggi. Semakin jauh perbedaan antara kelompok orang yang diuntungkan, mendapatkan privilese, dan mereka yang dirugikan (deprived).

Peringatan HUT Ke-61 RI sepantasnya kita gunakan untuk membicarakan masalah-masalah kebangsaan yang lebih mencerahkan. Kemerdekaan yang kita harus raih bukan hanya sekadar merdeka dalam kata-kata, yang hanya manis di mulut, tetapi kemerdekaan yang sesuai dengan tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada yang merasa dirugikan lagi.

Surat dari Cacat Veteran

Asvi Warman Adam

Korps Cacat Veteran pada tanggal 21 Juli 2006 melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tembusan surat itu disampaikan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Pertahanan, dan Panglima TNI selain kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Yang menarik, ketua LIPI juga mendapat tembusan surat itu.

Di LIPI surat ini mendapat perhatian serius. Apakah sebagai lembaga akademik LIPI memiliki kewajiban formal untuk menanggapi surat itu? Atau apakah LIPI seperti dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dianggap sebagian masyarakat sebagai "Lembaga Ilmu Politik Indonesia". Jika benar demikian, ini tentu sebuah kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat terhadap lembaga penelitian yang senantiasa menjaga otonomi dan profesionalitasnya.

Menyentuh perasaan

Surat itu amat sederhana tetapi amat menyentuh perasaan saat diungkap dalam suasana memperingati kemerdekaan. Para cacat veteran itu telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan risiko kehilangan anggota tubuh. Dengan senjata seadanya, mereka melawan tentara Belanda dengan dukungan Sekutu yang kembali ke Indonesia untuk menguasai Tanah Air.

Kehilangan anggota tubuh adalah sesuatu yang tidak terbayangkan saat berangkat bergerilya. Namun, hal itulah yang menimpa mereka. Dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, mereka harus menjalani kehidupan setelah Belanda enyah dari persada Ibu Pertiwi.

Tahun 1994 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1994 yang menetapkan cacat veteran memperoleh tunjangan bulanan bila cacat satu anggota badan (misalnya tangan atau kaki) Rp 22.000. Bila kehilangan dua anggota tubuh memperoleh Rp 44.000. Roeslan Abdulgani (alm) yang kehilangan dua setengah jarinya dalam perang kemerdekaan tentu mendapat sekian persen dari Rp 22.000.

Surat itu meminta Presiden meninjau kembali besar (atau kecil)-nya tunjangan itu. Apalah artinya Rp 22.000 sekarang, apa yang bisa dibeli dengan uang sebesar/kecil itu. Apakah tunjangan bagi para cacat veteran tidak dapat dinaikkan menjadi Rp 1 juta, yakni sebesar tunjangan bulanan Ahli Peneliti Utama (jabatan fungsional tertinggi dalam bidang penelitian) LIPI?

Keadilan dalam pendapatan

Angka-angka itu membuahkan pertanyaan, apakah sudah ada keadilan dalam pendapatan yang diberikan pemerintah terhadap pejabat negara dan pegawai negeri. Seorang anggota DPR yang sudah memperoleh gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah masih menerima Rp 35 juta lagi untuk keperluan menerima masukan dari konstituennya. Pegawai negeri eselon satu dan dua, baik di pusat dan daerah, menerima tunjangan struktural yang berjumlah jutaan rupiah.

Ketika pemerintah menetapkan gaji ke-13, para pejabat negara itu tidak malu-malu mengantongi pendapatan yang "sudah menjadi hak mereka" itu. Terdapat sekian banyak komisi nasional yang anggotanya memperoleh gaji/honor di atas Rp 10 juta per bulan, seperti KPK, Komnas HAM, KPPU, Komisi Yudisial, KPI, dan Komisi Ombudsman Nasional.

Gaji di antara PNS di berbagai departemen juga tidak sama. Ada saja aturan yang ditetapkan agar pegawai departemen tertentu mendapat tambahan gaji/tunjangan. Profesi seperti hakim mendapat tunjangan khusus. Pegawai BATAN, misalnya, memperoleh tunjangan radiasi nuklir meski mereka berkantor jauh dari instalasi atom.

Peneliti BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mendapat TSP (tunjangan selisih pendapatan) sejak BJ Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Ketentuan mengenai pendapatan para pejabat negara dan pegawai negeri sipil ini perlu dikaji dan ditinjau kembali secara saksama.

Namun yang paling mendesak agar tunjangan bagi cacat veteran dapat diberikan dalam jumlah wajar. Para cacat veteran kini rata-rata berusia 75 tahun. Kalau itu dilaksanakan, jelas tidak akan membebani pemerintah.

Enam puluh satu tahun sudah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Tapi pertanyaan sinis kerap disampaikan: "Benarkah kita sudah merdeka?" Dengarkan lagu iklan layanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang dinyanyikan para pengamen dan orang berdasi di mobil yang tampak gerah mendengarnya. "Benarkah kita sudah merdeka, sementara korupsi masih merajalela?" Orang pun sering menjawab: "Belum". Bukankah slogan kaum nasionalis sampai sekarang pun masih tak beranjak dari perang kemerdekaan: "Merdeka! Merdeka! Merdeka!?" Jadi, kemerdekaan macam apa yang sebenarnya kita cari?

Soekarno, sang proklamator kita, jauh hari menyatakan kemerdekaan hanya jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Di seberang jembatan itulah keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia seharusnya diwujudkan. Proses mewujudkan keadilan dan kemakmuran di seberang jembatan emas itulah yang ternyata tak gampang. Tak semudah membalikkan telapak tangan.

Kita ingat sebagai fakta bagaimana slogan "Revolusi Belum Selesai" menggema setelah satu dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan 1945. Tak hanya menunjukkan ke mana arah dan bagaimana Indonesia harus dibangun, "Revolusi Belum Selesai" jelas juga menunjukkan konflik ideologis dalam memaknai kemerdekaan Indonesia (kita). Bung Karno maju dengan kesimpulan baru: rakyat Indonesia masih dibelenggu nekolim: neokolonialisme dan imperialisme, sementara masih banyak dari rakyat Indonesia yang merindukan zaman normal di masa kolonialisme Belanda.

Bung Karno pun menyerukan perlunya sikap berdikari: berdiri di kaki sendiri daripada mengemis pada modal asing dan didikte karenanya: "Go to hell with your aid!". Tri Sakti pun diajukan sebagai jalan keluar mewujudkan rakyat Indonesia yang adil dan makmur: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Namun masa gegap gempita yang dipenuhi dengan mobilisasi rakyat seperti pawai, rapat akbar disertai orasi-orasi yang menggelegar ini ditutup dengan peristiwa G30S 1965. Selama Orde Baru berkuasa, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi tertuduh tunggal pelaku G30S yang membunuh tujuh jenderal dengan keji. Akibatnya, PKI dan organisasi simpatisannya dinyatakan sebagai partai dan organisasi terlarang. Komunisme tak boleh diajarkan dan disebarkan di Indonesia. Ribuan aktivis dan simpatisannya dibunuh walau tak tahu-menahu dengan G30S. Sebagian besar lagi dikirim ke penjara-penjara di seluruh Indonesia, termasuk ke pulau pembuangan: Buru.

Jenderal Soeharto pun berkuasa, 32 tahun. Ke mana arah dan bagaimana Indonesia mesti dibangun, berbeda 180 derajat dengan Bung Karno. Tak ada orasi-orasi seperti Ki Dalang. Tak ada mobilisasi-mobilisasi rakyat turun ke jalan-jalan. Tak ada debat dan polemik. Jenderal Soeharto tampil di depan rakyat begitu tenang, kalem, bahkan banyak senyum ramah sebagaimana gambaran masyarakat yang harmoni tanpa konflik. Modal asing pun mengalir deras menciptakan gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan yang mulus.

Namun, di balik semua itu utang menumpuk berbukit-bukit; pers dikontrol, partai-partai politik dan organisasi massa disatukan dalam ideologi tunggal: Pancasila. Yang menolak dijadikan musuh negara dicap PKI atau ekstrem kanan bahkan pada petani-petani yang hanya sekadar mempertahankan tanah-tanahnya karena ganti rugi yang tak sesuai; juga pada kaum buruh yang menuntut kenaikan upah. Pancasila menjadi palu godam kekuasaan untuk membungkam nada-nada kritis rakyat yang dianggap merongrong kekuasaan. Penjara pun tak pernah sepi dari pejuang-pejuang prodemokrasi diiringi dengan jerit tangisnya karena siksa oleh tangan-tangan yang kebal hukum. Kematian terkadang begitu dekat.

Tak ada demokrasi di bawah Soeharto, begitulah kesimpulan dari mahasiswa-mahasiswa dan intelektual kritis yang gelisah. Diskusi-diskusi pun dibangun. Aksi-aksi massa dilancarkan. Golongan Putih menjadi pilihan ketika pemilu Orde Baru diselenggarakan. Sampai akhirnya: kediktatoran Orde Baru harus ditumbangkan. Begitulah saripati dari syair-syair berontak Rendra, Emha, dan Thukul. Rakyat makin memperbesar barisannya untuk menjebol tirani. Dan Soeharto pun jatuh. Demokrasi diraih membawa angin segar reformasi dan memberi peluang pada sipil menduduki jabatan berkuasa: Presiden Republik Indonesia lebih cepat dari yang dibayangkan. Sedikit bernapas lega: Merdeka.

Namun, pertanyaan kemerdekaan macam apa pascareformasi terus saja menghantui. Korupsi masih merajalela, penggusuran orang-orang miskin terus terjadi, pendidikan dan kesehatan makin mahal, kepedulian sosial tampak menjauh, bencana alam datang bertubi-tubi, utang negara menumpuk, krisis moral terjadi di mana-mana. Kita punya kekayaan alam melimpah: tambang emas, tembaga, minyak ...tetapi mengapa cuma menjadi kuli di negeri sendiri dan hidup miskin, mati seperti ayam mati di lumbung padi? Tentu semua ini bukan kemerdekaan yang kita cari. Lalu?

Enam puluh satu tahun sudah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Tak seharusnya kemiskinan dan kesengsaraan terus merajalela. Demokrasi tentu adalah modal awal kemerdekaan sejati kita sebagaimana jembatan emas yang dinyatakan Bung Karno. Karenanya demokrasi yang kita raih saat ini pun seharusnya semakin dapat memajukan rakyat menggapai keadilan dan kesejahteraannya. Biarlah juga debat dan polemik tumbuh untuk mempertegas arah dan bagaimana Indonesia mesti dibangun. Karenanya kita tak perlu risi dengan tumbuhnya partai-partai baru menjelang Pemilu 2009.

Tumbuhnya partai-partai baru itu jelas mencerminkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi rakyat Indonesia di samping tentu saja cerminan demokrasi (baca: rasa merdeka) yang diraih pascakediktatoran Orde Baru. Tugas pemerintahlah yang seharusnya semakin menjamin dan memperteguh mekanisme demokrasi seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat sendiri telah menunjukkan kekuatannya dalam memperjuangkan demokrasi sebagaimana ditunjukkan pada hari-hari di bulan Mei 1998 itu dan tak lupa: 27 Juli 1996.

Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandeng tangan: mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali: perang kemerdekaan: setidaknya menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945.

Merdeka, untuk Apa?

Bangsa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Kini, 61 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, kita bertanya, merdeka, untuk apa?

Pada perspektif kemerdekaan sebagai proses tumbuh kembang keberadaban manusia dan bangsa, kita menegaskan bahwa kita merdeka untuk: (1) menjadi makin pandai dan arif; (2) bekerja makin efektif dan efisien; (3) mengalami hidup yang makin bahagia; (4) menjadi insan dan bangsa yang makin beradab.

Kini, sudahkah keempat hal itu terejawantah? Di sana-sini keempat hal itu telah terejawantah sebagai titik-titik kecil di tengah hamparan luas kehidupan nyata insan dan bangsa Indonesia, tetapi pada hamparan luas kehidupan itu tertebar pula bercak-bercak besar kebodohan dan ketidakarifan, kekurangmampuan bekerja secara efektif dan efisien, kesengsaraan dan penderitaan, dan kekurangberadaban.

Pada ulang tahun ke-61 Proklamasi Kemerdekaan, bentangan kehidupan nyata insan dan bangsa Indonesia masih berupa mosaik yang tersusun oleh titik-titik kecil kemerdekaan dan bercak-bercak besar ketidakmerdekaan. Agenda penting kita terwakili oleh pertanyaan: bagaimana kita mengusahakan pelebaran titik-titik kemerdekaan dan penciutan bercak-bercak ketidakmerdekaan, lewat upaya-upaya pada perspektif individual, budaya, dan struktural secara sekaligus?

Keempat ciri insan dan bangsa merdeka (pandai/arif; kerja efektif/efisien; hidup bahagia; beradab) akan kian bertumbuh kembang lewat pendidikan individual multifokus untuk memberdayakan individu mendayagunakan kepiawaiannya dalam berkata-kata/berbahasa; berpikir logis dan berhitung; mewujudnyatakan gerak ragawi yang produktif, efektif, dan menyehatkan; menyatakan pikiran, perasaan, dan mewujudnyatakan pemecahan masalah lewat gambar dan musik; menggalang hubungan antarmanusia yang empatetik, adil, saling menguntungkan, saling menumbuhkembangkan, dan damai; menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan keandalan diri (pengenalan diri, disiplin diri, kontrol diri, dan kejujuran diri yang baik); menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan hubungan yang sehat dan harmonis dengan alam, dunia hewan, dan dunia tumbuhan; menumbuhkembangkan dan mengejawantahkan hubungan yang penuh makna dengan dunia pemikiran mendalam dan Tuhan. Demi tumbuh kembang keempat ciri insan dan bangsa merdeka, kita niscaya mengejawantahkan pendidikan multifokus secara lengkap (holistik) dan menyeluruh (komprehensif), tanpa kecuali.

Upaya pada perspektif individual itu perlu dan niscaya didukung oleh budaya prokemerdekaan dan struktur kekuasaan prokemerdekaan, yang menjadi tempat hidup yang sehat untuk individu-individu merdeka. Budaya dan struktur kekuasaan yang prokemerdekaan adalah budaya dan struktur kekuasaan yang menghargai, mengutamakan dan mengejawantahkan: (1) komunikasi yang adil dan jujur lewat pendayagunaan kata dan bahasa; (2) pendayagunaan proses berpikir yang logis, rasional, transparan, dan akuntabel; (3) pendayagunaan gerak ragawi yang produktif, efektif, dan menyehatkan; (4) ekspresi seni yang mencerahkan, menggelitik introspeksi dan perbaikan, serta memberikan pengalaman keindahan; (5) hubungan antarmanusia (antarwarga bangsa) yang empatetik, adil, harmonis, damai, saling menguntungkan, dan saling menumbuhkembangkan; (6) pendidikan dan pelatihan disiplin diri, kejujuran, dan kontrol diri yang andal; (7) hubungan yang sehat, harmonis, dan adil dengan alam, dunia hewan, dan dunia tumbuhan; (8) hubungan yang mendalam dan penuh makna dengan dunia pemikiran mendalam dan Tuhan.

Pendidikan individual multifokus yang memerdekakan dan budaya serta struktur kekuasaan yang prokemerdekaan jelas tidak sejalan dengan praktik kekerasan; penindasan; ketertutupan; ketidakjujuran; patgulipat; proses berpikir tidak logis, tak rasional, tak akuntabel; praktik penghambatan ekspresi seni; pemanfaatan gerak ragawi untuk praktik kekerasan dan penindasan; hubungan antarmanusia (antarwarga bangsa) yang tidak adil, penuh prasangka, diskriminatif, dan rasistik; kualitas diri insani yang tak jujur dan tidak disiplin; hubungan eksploitatif dengan alam, fauna, dan flora; praktik religius dan spiritual yang dangkal dan miskin makna.

Semoga beberan singkat gambaran individu, budaya, dan struktur kekuasaan yang merdeka itu menggelitik kita untuk benar-benar merdeka. Dirgahayu Republik Indonesia!

Besok, tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan ke-61. Setiap kali merayakan hari kemerdekaan, setiap itu pula muncul berbagai pertanyaan dalam diri kita. Salah satunya perihal nasionalisme. Bagaimanakah nasionalisme kita dewasa ini?

Banyak kalangan menilai, nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa telah lusuh dan usang. Hemat penulis, nasionalisme menjadi lusuh dan usang karena ia telah teramat sering dibajak oleh rezim-rezim yang berkuasa hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tak bisa lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan melalui tulisannya yang terkenal, What is a Nation?, mengatakan, nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan.

Pemikiran Ernest Renan ini amat memengaruhi alur berpikir dari pemikir-pemikir sesudahnya, salah satunya Benedict Anderson. Benedict Anderson memaknai imagined community sebagai cikal bakal munculnya konsep nasionalisme.

Suatu bangsa pada dasarnya ialah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, sekaligus berkedaulatan. Pada komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi di benak setiap anggotanya hidup bayangan tentang kebersamaan dan persaudaraan.

Melalui konsep imagined community dapat kita identifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme digunakan sebagai amunisi bersama dalam menentang hegemoni kolonialisme.

Namun, kini nasionalisme bangsa terasa kian meredup sinarnya. Sebab utamanya adalah kian maraknya praktik negatif kekuasaan. Mulai dari buruknya kinerja serta rusaknya etika birokrat, elite politik, para penegak hukum, tindakan-tindakan represif negara, sampai pada ketidakadilan pembagian "kue pembangunan" telah mengakibatkan makin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial di dalam masyarakat.

Hal itu kemudian mengakibatkan hilangnya kepercayaan (distrust) masyarakat terhadap negara. Masyarakat tidak memiliki panutan dalam bertindak. Akibat lebih lanjut dari hal ini adalah makin memudarnya kohesi sosial bangsa Indonesia. Padahal—sebagaimana Francis Fukuyama katakan—kepercayaan merupakan social capital terpenting dalam masyarakat. Masyarakat yang distrust amat kontraproduktif dengan bangunan masyarakat sipil yang kuat, yang notabene merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya negara demokrasi modern.

Realitas itu diperparah dengan lemahnya civic nationalism bangsa sehingga mengakibatkan suburnya semangat ethno-nationalism di masyarakat. Ethno-nationalism ialah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Tetapi dalam pengertian lebih luas, ethno-nationalism didefinisikan sebagai doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip-prinsip hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah pemerintahan sendiri.

Ethno-nationalism dapat pula dibaca sebagai bentuk hilangnya loyalitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap sebuah ikatan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara Indonesia. Jika fenomena ethno-nationalism berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan mustahil bila riwayat NKRI akan berujung pada disintegrasi bangsa sebagaimana yang pernah dialami Uni Soviet dulu.

Dalam menyikapi fenomena itu, pemerintah sedapat mungkin harus menghindari cara-cara represif. Cara-cara persuasiflah yang seharusnya dikedepankan, misalnya dalam menghadapi gerakan ethno-nationalism yang bertujuan untuk memisahkan diri, maka yang harus dilakukan adalah negosiasi ulang pembagian sumber daya ekonomi daerah.

Pendekatan dialogis senantiasa harus selalu diutamakan dan diusahakan semaksimal mungkin. Selain itu, penting pula adanya sebuah pengakuan resmi secara konstitusional terhadap berbagai bentuk identitas primordial yang ada bahwa keberadaannya akan memperkaya khazanah identitas nasional bangsa keseluruhan.

Pengakuan itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri masing-masing kelompok masyarakat—terlebih yang memiliki potensi ethno-nationalism dan separatisme—bahwa tindakan untuk memisahkan diri dari NKRI guna menjadi negara tersendiri merupakan hal yang tidak menguntungkan.

# Di kutip dari…………P4w in NATIONALITY

Beliau adalah Presiden untuk sebuah jiwa yang kosong, dibawah kebenaran dan diatas kesalahan……

Meraung-raung dalam sampah-sampah idealisme kecoa..

Dan demokrasi picik!

Bendera merah putih bukan lagi bendera kaum nasionalis……….. darah mereka bukan lagi darah merah…………. Yang ada hanya perut dan warna perut……………………………………………………………………………………. FUCK !!!!!! atau merdeka ?!?