10 Tahun Reformasi "Indonesia Negara yang Gagal"

“Indonesia negara gagal, karena tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya. Negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya. Tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata”.

Arbi Sanit
Dalam peringatan 99 Tahun Bung Syahrir dan 60 Tahun Partai Sosialis Indonesia sebagaimana dilansir Harian Kompas Senin 31 Maret 2008.

Ungkapan Arbi Sanit yang mengawali tulisan ini bisa jadi mewakili sebagian besar perasaan masyarakat Indonesia yang pesimistis terhadap perubahan signifikan yang berlangsung di negeri ini. Dalam beberapa pekan yang lalu, kami mencoba melihat kasus Timor Leste yang kami kutif menurut beberapa ahli, jika dalam beberapa tahun kemudian tidak ada perubahan signifikan Timor Leste menjadi contoh salahsatu negara gagal. Kami geli dan gelisah ternyata bentuk “Negara gagal” malah sudah hadir di depan mata sendiri, dan itu adalah Negara di mana bumi kami pijak. Dalam kesempatan ini kami mencoba mengkaji Indonesia dalam perspektif Negara gagal sekaligus menyambut 10 tahun reformasi. Insya Allah dalam menyambut 10 tahun Reformasi, tulisan ini pun akan dilanjutkan dalam bentuk perspektif yang berbeda.

Arbi Sanit melihat bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas beragamnya keterpurukan dan ketidakteraturan dalam system Negara saat ini. Pasalnya parpol yang memegang hak monopoli untuk berkuasa, parpol juga yang membuat aturan bagaimana kekuasaan itu di bentuk dan dijalankan. Keadaan ini adalah bukti kondisi parpol yang lebih buruk dari kondisi Negara. Parpol tidak bisa melahirkan kekuasaan yang baik dan berpihak kepada rakyat. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakmampuan parpol melahirkan kader yang berkualitas, punya integritas dan moral, serta punya visi kebangsaan.

Dalam Tulisan Agus Hariyadi dengan judul ”Revolusi (tak) Berhenti di Hari Minggu”. Agus mengutif ucapan Affan Gaffar yang lebih ”menakutkan” lagi bahwa ”tak ada harapan di bidang ekonomi, tak ada harapan di bidang politik dan hukum, kita sudah tak punya harapan!”. Yang kemudian ditafsirkan dalam tulisan Ray Rangkuti bahwa kerusakan yang ada telah terlanjur kronis dan menguburkan harapan banyak orang akan adanya pemulihan. Pembususkan sudah sampai pada tingkat yang tak mungkin disembuhkan.

Apa yang terjadi dengan reformasi kita? Mengapa hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini masih mencemaskan? Dan kenapa kita hingga tahun yang kesepuluh ini masih berkutat dalam proses transisi menuju demokrasi?. Sepuluh tahun reformasi, Indonesia memang tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, baik dari segi politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Dan ini terbukti dengan belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat, dan ini terbukti bahwa rakyat hanya selalu menjadi objek kepentingan politik belaka. Dan ini terbukti pemberdayaan rakyat hingga saat ini hanya menjadi slogan elite-elite belaka.

Negara Gagal?

Keadaan Indonesia terus bertambah buruk, harga bahan pokok, harga kedelai, harga minyak dan gas, berada di atas daya beli, selain itu ditambah dengan pengangguran yang terus meningkat. Sosiolog Musni Umar berpendapat bahwa ketidakberhasilan ini disebabkan pemerintah meneruskan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme dengan mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan konsensus Washington. Konsensus ini mengakibatkan kerugian bagi Rakyat Indonesia, karena ketidaksiapan Indonesia menghadapai kebebasan.

Dari segi politik, Indro Tjahjono mantan Ketua Nasional Gerakan Mahasiswa berpendapat, bahwa kesalahan pemerintah terletak pada belum berubahnya sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, yang berlaku adalah demokrasi kapitalisme seperti yang berlaku pada rezim Orde Baru. Demokrasi kapital merupakan demokrasi yang tunduk kepada modal atau mereka yang memiliki uang. Selama keadaan ini terus berlangsung maka demokrasi nilai yang seharusnya bersuara dan bersumber pada rakyat tidak akan tercapai.

Dari ungkapan-ungkapan di atas apakah membuktikan bahwa Indonesia adalah bentuk contoh dari negara gagal?! Apakah ini contoh ”gagalnya negara”. Tak kurang dari dua pengamat globalisasi, Dr. B. Herry Prijono dan Dr. Dedy N. Hidayat yang dikutif Rahman, mengingatkan agar hati-hati mendiskusikan ihwal negara gagal atau gagal negara. Jangan-jangan Indonesia benar-benar jadi contoh negara yang gagal. Ramalan dan kekhawatiran jadi kenyataaan atau self fulfilling propechy.

Pertanyaan yang dilontarkan dari kekhawatiran ini adalah, apakah negara gagal itu? Apakah negara itu yang dimaksudnya adalah pemerintah?, atau juga institusi negara yang lain seperti lembaga perwakilan?. Dan apa yang dimaksud dengan ”gagal”, apakah negara ini penuh dengan kekacauan sipil? Pembakaran di mana-mana?, proses penegakkan hukum mandul, dan masyarakat tidak punya aturan lagi?

Opini Meuthia dalam opininya berjudul ”Negara Gagal” (Kompas, 3/4./2008) mengajak kita untuk melihat studi yang dilakukan World Economic Forum dari Universitas Harvard pada tahun 2002 yang merumuskan tentang negara gagal, ciri-cirinya dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara di mana Indonesia menjadi salahsatu sample mereka. Dan diharapkan studi ini menjadi cermin apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi ini karakteristi negara gagal, antara lain adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal terbentuk pada awalnya karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefeisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.

Kemunduran ekonomi biasanya sejalan dengan lemahnya institusi penegakkan hukum. Karena adanya kemunduran ekonomi, akan semakin sulit menegakkan institusi-institusi negara menjadi lebih bersih. Dan kendala penegakkan demokrasi juga menjadi hambatan kalau rakyat lebih suka memikirkan ”perut” daripada kehidupan bermasyarakat.

Dalam bukunya Jared Diamond yang berjudul Collapse (2005) dicantumkan peta Indonesia sebagai negara yang sekaligus berbeda dalam environmental trouble spots of the modern world atau political trouble spots of the modern world. Indonesia menurut Diamond adalah negara yang pernah dan sedang mengalami rentetan masalah politik yang memenuhi syarat sebagai pertanda yang baik bagi negara gagal (state failure). Selain itu tekanan penduduk yang mencapai 3 persen tiap tahun mempercepat laju deforistasi (penggundulan hutan), meningkatnya limbah kimia beracun (polusi, rumah kaca, dan pertambangan), krisis energi, kekeringan, kelaparan, dan berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Mengutip buku Collapse ini bahwa betapa penebangan hutan ilegal dan ketidakmampuan menjaga lingkungan udara, laut, darat merupakan hal-hal serius yang harus diperhatikan Indonesia. Mental korupsi yang merajalela dan parah di semua tingkatan rakyat, besarnya beban hutang negara, dikuasainya aset-aset ekonomi oleh segelintir orang dan mantan kroni Orba, diabaikannya konflik kepentingan dalam lembaga-lembaga negara, dan rapuhnya perbankan Nasional, sebagaimana yang dimisalkan oleh Meuthia yaitu cara-cara premanisme yang bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Jika tidak diperbaiki, tidak mustahil kita akan menyusul Somalia, Sudan, Rwanda, atau Haiti yaitu menjadi Indonesia yang kolaps.

Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti juga menyatakan keprihatinannya, pemerintahan yang sepertinya kuat ini, tidak terasa seolah-olah kita tidak memiliki pemerintahan, jika tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state, atau negara yang bangkrut dan gagal. Apa jadinya….

Hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini memang mencemaskan. Transisi sejak tahun 1998 telah berjalan tanpa skenerio yang kuat dan tanpa arahan seorang sutradara yang jelas dan dihormati. Ibarat pentas, pemain hanya dibekali aturan main seadanya, dan itu pun aturan yang usang, tambal-sulam, tumpang tindih, dan pemain dibebaskan berimprovisasi. Terjadi benturan, bukan hanya di antara para pemain, penonton pun yang harusnya menikmati malah ikut.

Corak transisi di Indonesia sangat berbeda. Jatuhnya Soeharto tidak diduga dan tidak dipersiapkan sejak jauh hari. Bahkan para pengamat asing yang kompeten tidak menduga Soeharto dapat jatuh secepat itu. Penulis ketika masih berstatus mahasiswa dan ikut dalam demontrasi di Gedung DPR hampir tidak percaya, ketika melakukan sujud syukur, hati penulis pun masih mempertanyakan kebenarannya. Ketika kekuasaan berganti, semua menjadi terkesima. Sistem lama sudah hilang legitimasinya. Sementara skenerio baru untuk politik dan ekonomi tidak tersedia. Aneka improvisasi, uji coba dan trial and error dilakukan hingga kini.

Tidak adanya sutradara yang dihormati dan mau menjadi sutradara yang baik menjadi ”guru bangsa”. Sebaliknya presiden bahkan terlalu mudah dijatuhkan. Habibie naik lalu pertanggungjawabannya ditolak. Gus Dur naik lalu dijatuhkan, Megawati naik kemudian tidak lagi kembali terpilih. SBY naik, pemerintahannya tidak terlepas gonjang-ganjing tarikan partai politik. Tidak ada partai politik yang mendominasi parlemen atau Kongres, partai pemerintah (Partai Demokrat) malah mempunyai kedudukan yang lemah di parlemen.

Dalam catatan akhirnya, Meuthia menilai kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Apakah Indonesia Negara Gagal…….Tergantung anda melihat dan menilainya..

*Diambil dari berbagai sumber