Gerakan Golput dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Menggunakan hak pilih tentu menjadi kebanggan bagi setiap warga negara, karena proses itu juga bermakna partisipasi dalam menentukan nasib demokrasi dan politik di masa yang akan datang. Tetapi, kenyataan untuk tidak menggunakan hak pilih ini (Golput) merupakan sebuah realitas politik yang harus diakui dalam konteks demokrasi di Indonesia. Dari beberapa penyelenggaran pemilu dan pemilihan Kepala Daerah langsung(pilkada), jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilih (Golput) semakin bertambah. Dalam pemilu presiden 2004 yang lalu, angka Golput mencapai 40 % melebihi jumlah perolehan suara presiden terpilih, dan dalam pelaksanaan pilkada di Jakarta angka Golput rata-rata 30 %lebih. Meskipun ini harus di akui sebagai realitas demokrasi tetapi demokrasi juga butuh dukungan legitimasi dari pemilih atau orang-orang yang masih menganggap sistem tersebut punya manfaat.

Asal Muasal gerakan Golput di Indonesia

Menjelang pelaksanaan pemilihan umum 1971, Pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia. Dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo, penasihat khusus Soeharto dalam bidang intelejen, mengepalai unit Operasi Chusus (Opsus) selama beberapa tahun, memegang posisi sebagai Ajudan Pribadi Presiden selama hampir 10 tahun dan kemudian menjadi Menteri Penerangan pada masa pemerintahan Soeharto. Di dalam bukunyalah, 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan, terdapat gagasan-gagasan kontra-revolusi. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep bahwa rakyat akan menyibukan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam masayarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahuin 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki peran lagi dalam politik. Bahkan, bagaimanapun juga, gagasan ”massa mengambang” lebih diilhami oleh persepsi kepasifan politik massa dalam sistim 2 partai demokrasi parlementer Barat pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.

Tak senang pada cara pemerintah campurtangan dalam urusan internal partai politik, dan menentang penggunaan kekerasan di pedesaaan untuk mendapatkan dukungan bagi partai pemerintah, maka kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar pemilihan umum resmi, pemberian suara informal. Kelompok ini, yang sekali lagi dipimpin oleh Arief Budiman, dinamakan Golongan Putih (GOLPUT). Nama tersebut, menurut Arief Budiman, mengacu pada rekomendasi kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Tak bisa tidak, bagaimanapun juga, memberikan kesan pada orang bahwa tekanan moralistik tersirat dalam namanya. Putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Kelompok GOLPUT aktif terutama di Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta.

Dalam sejarah sistem politik Orde Baru, Partai politik hanya di jadikan mesin politik bagi rejim yang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik adalah mereka yang sama sekali terpisah dengan massa, mereka lebih nampak sebagai elit yang memerintah dan menjadi corong program pemerintah. Sehingga, dengan semakin menguatnya sentimen kemuakan atas perilaku Orde Baru di tingkatan Grassroot terutama di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia muncul afatisme terhadap parpol. Paska Reformasi, gerakan Golput makin mendapatkan tempat dalam sistem demokrasi apalagi partai-partai dominan masih mengekspresikan karakter partai di Jaman Orde Baru.

Meletakkan Golput dalam proses Demokratisasi di Indonesia

Golput adalah pilihan politik, sekaligus senjata politik untuk mempengaruhi sebuah proses politik. Arif Budiman dan kawan-kawannya sangat sadar bahwa politik otoriter Orde baru hanya bisa di dobrak dengan mengorganisasikan perlawanan terutama kaum intelektual. Proses transisi politik di indonesia memiliki tipikal tersendiri berbeda dengan proses demokratisasi di negara lain, kekuatan politik lama sama sekali tidak di likuidasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekuatan lama (sisa-sisa Orde baru) masih terus mewarnai proses politik di Indonesia paska reformasi, dan dalam pemilu 2004 Golkar kembali jadi partai pemenang pemilu meskipun perolehan suaranya menurun. Rejim –rejim yang berkuasa paska reformasi, gagal menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak seperti; Pengadilan Soeharto, kesejahteraan, pelanggaran HAM, dan terutama pemulihan ekonomi.

Tingginya angka Golput dalam beberapa proses pemilu dan Pilkada terkait dengan beberapa hal; (1). Kegagalan rejim-rejim paska reformasi dalam menyelesaikan beberapa persoalan krusial seperti kesejahteraan rakyat, pemulihan krisis ekonomi, pengadilan Soeharto, penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, dan persoalan korupsi. (2). Kecenderungan Oligarkhi partai politik; partai politik menjadi sarang para politisi elit yang hanya ingin kekuasaan, meniti karir, dan transaksi kursi kekuasaan. (3). Tidak adanya upaya mereformasi Internal partai, sebenarnya paska reformasi hampir semua parpol membawa jargon reformasi dan demokrasi tetapi itu hanya sebatas jargon tapi parpol tetap saja bobrok di mata rakyat. (4) merosotnya sistem demokrasi prosedural itu sendiri, proses politik rutin dan reguler ini ternyata hanya di manfaatkan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan (power) yang dikenal dengan istilah elit politik. Mayoritas orang merasa hanya di jadikan mesin pengumpul suara, sedangkan situasi paska pemilu sepenuhnya di kendalikan oleh para pemegang modal kekuasaan tersebut untuk mengamankan dan melancarkan kepentingannya.

Berbagai reaksi muncul atas kebuntuan politik di Indonesia, panggung politik masih di monopoli oleh ornamen lama sedangkan kekuatan baru cenderung terbirokratisasi dan mengikut pada sistem yang lama. Perlawanan lewat wacana Calon Independen, membesarnya angka Golput dalam pemilu, serta semakin menjamurnya aksi ekstraparlementer menjadi pertanda bahwa sistem demokrasi di negara kita sedang macet. Menjadi tugas semua kaum intelektual dan aktivis prodemokrasi untuk tetap mempertahankan dan memperjuangkan ruang-ruang demokrasi dan kebebasan sipil.***